Minggu, 17 April 2016

SULBAR MERINDUKAN PEMIMPIN ‘KEKINIAN’ PADA PILGUB 2017

SULBAR MERINDUKAN PEMIMPIN ‘KEKINIAN’ PADA PILGUB 2017

Pada tanggal 9 Maret 2016 yang lalu, program talk show Mata Najwa di Metro TV, menghadirkan Walikota Bandung, Ridwan Kamil dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dengan tema “Pemimpin Kekinian”. Kedua pemimpin tersebut memiliki gaya kempemimpinan yang boleh disebut transformasional. Selama ini kebanyakan masyarakat susah mendapatkan akses untuk berkomunikasi dengan pimpinannya,  namum mereka berhasil merubah paradigma kepemimpinannya dengan memanfaatkan media sosial untuk berkomunikasi dengan masyarakatnya. Sebut saja Ridwan Kamil yang menggunakan akun twitter, facebook, dan instagram untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Selanjutnya seperti dilansir Tribun Jateng (27/3/2016) Ganjar Pranowo mengambil langkah cepat saat menerima kabar adanya seorang warga Kabupaten Brebes yang tidak mampu beli beras. Lewat akun twitter @ganjarpranowo, ia memerintahkan Bupati Brebes Idza Priyanti untuk mengecek langsung ke rumah warga tersebut. Masih banyak lagi langkah-langkah yang tidak lazim dilakukan pemimpin selama ini yang mampu dirubah oleh keduanya. 
Selain pemimpin di atas, terdapat masih banyak pemimpin sekarang yang menerapkan pola kepimimpinan modern yang melayani masyarkat secara efektif dan efisien. Sebut saja Gubernur DK Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, Walikota Surabaya Tri Rismaharini, dan Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah. Kepemimpinan Ahok yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat yang dipimpinnya dibandingkan kepentingan partainya (kompasiana.com, 17/6/2015). Nurdin Abdullah, Bupati inovatif yang juga dujuluki tokoh perubahan ini, dengan konsep yang brilian berhasil menggerakkan perekonomian dan potensi Kabupaten Bantaeng menjadi kota dengan pertumbuhan ekonomi dan kesehatan yang cukup fantastis. Dari sederet prestasi beberapa pemimpin di atas, tentu hanyalah sebagian kecil dari banyaknya perubahan dan prestasi lain yang mereka torehkan untuk kemajuan masyarkat yang mereka pimpin.
Pemilihan gubernur Sulawesi Barat akan kembali digelar pada bulan Februari 2017 dan tahapannya sudah dimulai sejak bulan Februari 2016 yang lalu. Dengan berakhirnya masa jabatan gubernur petahana Anwar Adnan Saleh yang kedua kalinya, itu berarti bahwa Sulbar akan mempunyai gubernur baru tahun depan. Menengok prestasi gubernur saat ini, tentu dengan sembilan tahun memimpin, pak Anwar sudah memberikan banyak kontribusi bagi provinsi ke-34 di Indonesia ini. Sederet pembangunan telah dilakukan baik itu gedung pemerintahan, pembangunan jalan, tata kelolah pemerintahan, sampai kepada peresmian Universitas Sulbar sebagai universitas negeri, serta masih banyak lagi prestasi yang sudah dipersembahkan beliau untuk provinsi yang masih muda ini. Oleh karena itu menjadi pekerjaan rumah bagi penerusnya, seperti apa konsep yang akan diterapkan nantinya ketika terpilih. Apa yang sudah dilakukan gubernur saat ini membutuhkan terobosan baru dan  paradigma kepemimpinan baru kalau ingin bersaing dengan daerah lain.
Melihat perkembangan politik di Sulawesi Barat saat ini terkait kandidat yang akan maju dalam pilkada Sulbar 2017, sederet nama telah bermuculan baik di media massa , media sosial, maupun yang mencuat di kalangan masyarakat umum. Seperti dilansir polewaliterkini.com (26/9/2015), direktur Lembaga Citra Indonesia (LCI) Setiyo Beesono menilai dari gambaran data lembaganya ada tiga figur potensial yaitu, Salim S Mengga, Ali Baal Masdar (ABM), Suhardi Duka (SDK), sedangkan kuda hitam yaitu Muhyina Muin, Kalma Katta, Hamzah H Hasan, Nita Enny Anggraeni Anwar dan Aladin S Mengga. Namun belakangan mencuat pula beberapa nama seperti anggota DPD RI Asri Anas, Politisi PDIP Yakobus, dan Masmun Yan Manggesa (tokoh militer dari Mamasa). 
Dari sekian kandidat cagub di atas, tentu mereka mempunyai track record atau pengalaman kepemimpinan masing-masing. Pertanyaannya adalah apakah mereka layak digolongkan atau paling tidak menyerupai gaya kepemimpinan keknian yang telah dipertontonkan oleh beberpa pemimpin yang telah disebut diawal? Kenyataan yang tidak terhindarkan adalah masyarakat saat ini adalah masyarakat modern yang membutuhkan pemimpin “kekinian”. Termasuk masyarakat Sulbar yang walaupun tidak semua bisa mengakses internet atau berita setiap saat, tetapi sebagian besar melalui media massa dan media sosial terpaparkan oleh berita tentang sosok pemimpin yang ideal untuk memimpin saat ini. Mereka merindukan pemimpin yang melayani bukan dialayani, cepat tanggap, transparan, inovatif, sederhana dan lain sebagainya seperti yang telah dilakukan oleh para pemimpin kekinian tersebut di atas. Oleh karena itu bagi para kandidat yang ingin berlaga di pentas pilkada Sulbar 2017 mendatang, harus bercermin kepada gaya kemimpinan kekinian jika ingin eksis di era kepemimpinan yang serba digital saat ini. 
Yogyakarta, 15 April 2016





Rabu, 30 Maret 2016

Epistemologi Ilmu Pendidikan Bahasa


EPISTEMOLOGI ILMU PENDIDIKAN BAHASA
Oleh :
ROBINSON, S.Pd.
MAHASISWA
PRODI LINGUISTIK TERAPAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015


A. PENDAHULUAN

Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Pengetahuan juga dapat dikatakan sebagai jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Pada hakekatnya kita mengharapkan jawaban tentang pengetahuan yang benar, bukannya sekadar jawaban yang bersifat sembarang saja. Oleh karena itu, bagaimana kita menyusun pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang dalam kajian filsafati disebut epistemologi, yaitu bagiamana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam (Suriasumantri, 2009: 105).

Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang berupa pengetahuan sistematis yang dihasilkan dari kegiatan kritis yang tertuju pada penemuan. Ilmu sendiri mempunyai banyak macam diantaranya adalah ilmu linguistik terapan. Ilmu linguistik terapan merupakan salah satu cabang dari ilmu linguistik yang secara khusus mengidentifikasi, menginvestigasi, dan menawarkan solusi bagi masalah dunia nyata yang terkait dengan bahasa. Linguistik terapan juga mempunyai beberapa cabang lagi yang salah satu diantaranya adalah pendidikan bahasa.

Mudyahardjo (2012, 5) membagi filsafat pendidikan menjadi dua yaitu filsafat praktek pendidikan dan filsafat ilmu pendidikan. Oleh karena itu pendidikan bahasa, yang merupakan salah satu bidang dari linguistik terapan, juga terbagi dua yaitu praktek pendidikan bahasa dan ilmu pendidikan bahasa. Karena ilmu pendidikan bahasa juga merupakan sebuah ilmu, maka dalam memperolehnya tentu dengan menggunakan metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, maka dalam mendapatkan ilmu pendidikan bahasa tentu dengan melalui metodologi ilmiah/penelitian pendidikan bahasa. 

Berdasarkan penjelasan di atas, makalah ini dibatasi kajiannya yaitu bagaimana menyusun sebuah pengetahuan berupa ilmu pendidikan bahasa sehingga diperoleh penemuan teori pendidikan bahasa. Oleh karena itu judul makalah ini adalah Epistemologi Ilmu Pendidikan Bahasa.

B. PEMBAHASAN

1. Epistemologi

Menurut Muhadjir (2011: 62), epistemologi merupakan salah satu bagian dari filsafat ilmu yang berupaya mencari kebenaran (truth) berdasarkan fakta. Kebenaran dibangun dengan logika dan didahului oleh uji konfirmasi tentang data yang dihimpun. Lebih lanjut Muhadjir mengungkapkan bahwa epistemologi berupaya menghimpun empiri yang relevan untuk dibangun secara rasional menjadi kebenaran ilmu. Muhadjir juga membedakan epistemologi dengan fakta yaitu epistemologi mempertanyakan bagaimana konsep ilmu mengenai fakta. 

Epistemologi menurut Suriasumantri (2009: 33), merupakan salah satu dari tiga landasan (ontologis, epistemologis, dan aksiologis) yang menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan berupa ilmu? Epistemologi keilmuan mempunyai tugas yaitu bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat meramalkan dan mengontrol gejala alam. 

Berdasarkan teori diatas, dapat disimpulkan bahwa epistemologi dalam filsafat ilmu adalah cara atau proses yang dilalui dalam membuktikan konsep atau pengetahuan berupa ilmu. Dalam proses pembuktian tersebut meliputi prosedur, hal-hal yang harus diperhatikan, dan cara/teknik/sarana yang membantunya. 

2. Ilmu

Lenzen (via Mudyahardjo, 2010: 9), meninjau ilmu dari segi morfologis atau bentuk substansinya, sebagai pengetahuan sistematis yang dihasilkan dari kegiatan kritis yang tertuju pada penemuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak bangkus sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi (Suriasumantri, 2009: 19). Ilmu merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan sehari-hari yang dilanjutkan dengan suatu pemikiran cermat dan seksama dengan menggunakan berbagai metode. Ilmu merupakan suatu metode berfikir secara objektif yang bertujuan untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap gejala dan fakta melalui observasi, eksperimen dan klasifikasi. Ilmu harus bersifat objektif, karena dimulai dari fakta, menyampingkan sifat kedirian, mengutamakan pemikiran logik dan netral.

3. Ilmu Linguistik Terapan

Menurut Chaer (2014: 17), berdasarkan tujuannya, apakah penyelidikan linguistik semata-mata untuk merumuskan teori ataukah untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, hal ini bisa dibedakan dengan adanya linguistik teoritis dan linguistik terapan. Linguistik teoritis berusaha mengadakan penyelidikan terhadap bahasa atau bahasa-bahasa atau juga terhadap hubungan bahasa dengan faktor-faktor yang berada diluar bahasa hanya untuk menemukan kaidah-kaidah yang berlaku dalam objek kajiannya itu. Jadi, kegiatannya hanya untuk kepentingan teori belaka.

Berbeda dengan linguistik teoritis, linguistik terapan berusaha mengadakan penyelidikan terhadap bahasa atau hubungan bahasa dengan faktor-faktor di luar bahasa dengan kepentingan memecahkan masalah-masalah praktis yang terdapat di dalam masyarakat. Misalnya, penyelidikan linguistik untuk kepentingan pengajaran bahasa, penyusunan buku ajar, penerjemahan buku, penyusunan kamus, pembinaan bahasa nasional, penelitian sejarah, pemahaman terhadap karya sastra, dan juga penyelesaian masalah politik (Chaer, 2014: 17).

Meski bidang linguistik terapan dimulai dari Eropa dan Amerika Serikat, bidang ini cepat berkembang dalam konteks internasional. Linguistik terapan awalnya memperhatikan prinsip-prinsip dan praktek terhadap dasar-dasar linguistik. Pada mulanya, linguistik terapan dianggap sebagai "linguistik yang diterapkan" setidaknya dari luar bidangnya. Namun pada tahun 1960 linguistik terapan diperluas untuk mencakup penilaian bahasa, kebijakan bahasa, dan penguasaan bahasa kedua. Pada awal tahun 1970-an, linguistik terapan menjadi bidang masalah yang diarahkan daripada sekadar linguistik teoritis. Linguistik terapan juga meliputi solusi dari masalah yang berhubungan dengan bahasa di dunia nyata. Pada 1990-an, linguistik terapan telah meluas, meliputi studi kritis dan multilingualisme. Penelitian linguistik terapan dialihkan ke "penyelidikan teoritis dan empiris dari masalah dunia nyata di mana bahasa merupakan isu sentral” (https://id.wikipedia.org/wiki/Linguistik_terapan).

4. Ilmu Pendidikan Bahasa

Mudyahardjo (2012, 5) membedakan filsafat pendidikan menjadi dua yaitu filsafat praktek pendidikan dan filsafat ilmu pendidikan. Lebih lanjut Mudyahardjo menjelaskan bahwa ditinjau dari substansi atau isinya, Ilmu Pendidikan merupakan sebuah sistem pengetahuan tentang pendidikan yang diperoleh melalui riset. Oleh karena pengetahuan yang dihasilkan riset tersebut disajikan dalam bentuk konsep-konsep pendidikan, maka Ilmu Pendidikan dapat pula dibatasi sebagai sebuah konsep pendidikan yang dihasilkan melalui riset.

Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbriter yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri (Chaer, 2014: 32). Bahasa juga didefinisikan sebagai pernyataan yang menunjukkan ciri-ciri kunci sebuah konsep (Brown, 2008: 5). Kita menggunakan bahasa setiap hari sebagai sarana komunikasi dan bahasa tertulis memungkinkan kita untuk mampu merekam sejarah dari generasi ke generasi. 

Pendidikan bahasa teridiri dari dua kata yaitu pendidikan (pengajaran dan oembelajaran) dan bahasa. Pembelajaran adalah penguasaan atau pemerolehan pengetahuan tentang suatu subjek atau sebuah keterampilan dengan belajar, pengalaman, atau instruksi dan pengajaran adalah menunjukkan atau membantu seseorang mempelajari cara melakukan sesuatu, memberi instruksi, memandu dalam pengkajian sesuatu, menyiapkan pengetahuan, menjadikan tahu atau paham (Brown, 2008: 8). Jadi pendidikan bahasa adalah proses pembelajaran bahasa yaitu penguasaan bahasa dengan belajar dan pengajaran bahasa yaitu membantu seseorang mempelajari bahasa, memberi instruksi, memandu dalam mengkaji bahasa, menyiapkan pelajaran bahasa, menjadi tahu atau paham.

Berdasarakan beberapa beberapa teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu pendidikan bahasa adalah sebuah konsep atau sistem pengetahuan tentang pendidikan kebahasaaan yang dihasilkan dari kegiatan kritis atau diperoleh melalui penelitian/riset. 
5. Epistemologi Ilmu Pendidikan Bahasa
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa epistemologi ilmu adalah proses yang dilalui untuk membuktikan pengetahuan ilmiah, maka epistemologi pendidikan bahasa merupakan proses, hal-hal yang perlu diperhatikan, dan cara untuk mendapatkan ilmu pendidikan bahasa. Suriasumantri (2009: 105) mengatakan bahwa cara kita menyusun pengetahuan yang benar dalam filsafati disebut epistemologi dan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah. Oleh karena itu, epistemologi pendidikan bahasa dapat pula diartikan sebagai metode ilmiah dalam ilmu pendidikan bahasa. 
Berbicara tentang metode ilmiah tentu tidak terlepas dengan penelitian atau riset, karena melalui penelitian kita akan menemukan sebuah konsep atau pengetahuan yang berupa ilmu. Jadi epistemologi ilmu pendidikan bahasa juga merupakan proses penelitian pendidikan bahasa, karena melalui penelitian pendidikan bahasa kita akan menemukan sebuah konsep atau teori tentang pendidikan bahasa. 
6. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa
Secara umum tujuan penelitian adalah menjelaskan dunia di sekitar kita melalui upaya yang sistematis (Kamil via Syamsuddin dan Damaianti, 2006: 3). Lebih lanjut Syamsuddin dan Damaianti mengungkapkan bahwa berdasarkan pada rumusan tersebut maka tujuan penelitian pendidikan bahasa adalah upaya yang sistematis untuk menjelaskan, memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah-masalah pendidikan bahasa. Penelitian merupakan proses yang terstruktur sehingga, sehigga diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk melaksanakannya. Langkah-langkah dalam proses penelitian akan bergantung pada pendekatan/metode yang digunakan sebuah penelitian. 

a. Metode Penelitian

Menurut Syamsuddin dan Damaianti (2006: 14), metode penelitian adalan cara pemecahan masalah yang dilaksanakan secara terencana dan cermat dengan maksud mendapatkan fakta dan simpulan agar dapat memahami, menjelaskan, meramalkan, dan mengendalaikan keadaan. Metode juga merupakan cara kerja untuk memahami dan mendalami objek yang menjad sasaran. metode penelitian juga dikendalikan oleh garis-garis pemikiran yang konseptual dan prosedural.

b. Tujuan Penelitian Pendidikan Bahasa

Secara rinci tujuan penelitian pendidikan bahasa dipaparkan oleh Syamsuddin dan Damaianti (2006: 3) diantaranya; (1) menemukan dan mengembangkan teori, model, atau strategi baru dalam pendidikan bahasa, (2) menerapkan, menguji dan mengevaluasi kemampuan teori, model, strategi pendidikan bahasa dalam memecahkan masalah pendidikan bahasa, (3) mendeskripsikan dan menjelaskan keadaan atau hubungan berbagai isu atau pikiran yang terkait dengan masalah bahasa, (4) memecahkan masalah pendidikan bahasa, (5) menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah pendidikan bahasa, dan (6) membuat keputusan atau kebijakan.
Masalah pendidikan bahasa mencakup masalah-masalah linguistik atau kebahasaan dan keterampilan berbahasa. Adapun masalah keterampilan yang menjadi fokus penelitian bahasa mencakup keterampilan membaca, menulis, mewicara, dan mendengarkan Syamsuddin dan Damaianti (2006: 4). Tujuan penelitian pendidikan membaca dan menulis adalah untuk meningkatkan praktik-praktik pendidikan membaca dan menulis, baik di kelas maupun pada setting lainnya, sedangkan penelitian pendidikan mewicara dan mendengarkan bertujuan untuk bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah peningkatan kemampuan mewicara dan mendengarkan serta mengatasi masalah kesulitan mewicara dan mendegarkan. Sebagai contoh penelitian eksperimen, kesulitan mewicara dan mendengarkan dapat dilakukan dengan menelaah faktor-faktor sebab akibat kesulitan mewicara dan mendegarkan.

c. Posisi Penelitian Linguitik Terapan Dalam Pendidikan Bahasa

Seperti yang yang telah dikemukakan oleh Muhdyahardjo (2012, 5), bahwa filsafat pendidikan dibedakan menjadi dua yaitu filsafat praktek pendidikan dan filsafat ilmu pendidikan. Selanjutnya Krashen memaparkan posisi yang ideal dari penelitian linguistik terapan yang dalam hal ini hubungan antara teori pemerolehan bahasa, penelitian linguistik terapan, ide dan intuisi, dan praktek pengajaran bahasa. Berikut adalah dua figur yang menggambarkan penelitian linguistik terapan yang ideal dan kenyataan yang ada (Krashen, 2009: 6): 

Add captGambar 1. Hubungan yang ideal antara teori, penelitian linguistik terapan, ide dan intuisi, dan       praktek pengajaran bahasa
Hal yang ideal apabila ada hubungan yang antara teori, penelitian linguistik terapan, ide dan intuisi, dan praktek pengajaran bahasa. Peneliti linguistik terapan seharusnya fokus pada teori penelitian yang mendalam, karena dengan teori yang baik akan memberikan wawasan yang mendalam bagi para praktisi dalam mengajarkan bahasa yang akan berdampak pada terjadinya pemerolehan. Namun faktanya bahwa, banyak peneliti yang tidak lagi terlibat dalam pendidikan dan pebelajaran bahasa, dan tidak berinteraksi dengan guru. Juga terdapat jarak yang jauh antara penelitian teori dan terapan; kebanyakan yang meneliti untuk metode yang baik kurang konsern dengan teori yang mendasar. Kenyataan yang lain adalah guru dan pengembang materi kurang memperhatikan penelitian dan teori-teori.

d. Macam-macam metode penelitian pendidikan bahasa

1) Metode Penelitian Kualitatif Pendidikan Bahasa

Penelitian kualitatif disebut pendekatan investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap muka langsung dan berinteraksi langsung dengan orang-orang di tempat penelitian (Syamsuddin dan Damaianti, 2006: 144). Dengan penelitian kualititatif, peneliti lebih mempersiapkan instrumen “orang” dari pada instrumen lain. Di lapaangan peneliti berupaya menginterpretasikan fakta yang relevan secara menyeluruh (holistik). Meskipun peneliti harus mengikuti metodologi tertentu, tetapi pokok-pkok pendekatan tetap dapat berubah pada waktu penelitian sedang berlangsung. Teknik pengumpulan data meliputi wawancara, observasi, serta teknik dan model analisis data.  Data yang sedang dan telah dikumpulkan harus dilacak, diorganisasi, dipilah, disintesis, dicari polanya, diiterpretasi, dan disajikan agar peneliti dapat menangkap makna fenomena serta serta dapat mengkomunikasikan kepada orang lain. 

Seorang guru bahasa yang ingin bertindak sebagai peneliti kualitatif, maka langkah-langkah yang harus dilaksanakan adalah; (1) mengambil satu masalah sebagai fokus penelitian, (2) membuat catatan rinci, rekam hasil observasi, dan wawancara/dialog, (3) memeriksa data-data untuk melihat adanya perubahan, (4) membuat pertanyaan tentang permasalahan yang mencuat untuk diadakan perbaikan, (5) mempergunakan data untuk membuat putusan, proses penelitian itu berdampak pada perbaikan keadaan.
Metode-metode penelitian kualitatif yang digunakan dalam menyusun Ilmu Pendidikan Bahasa (Syamsuddin dan Damaianti, 2006: 26-30), antara lain:

a) Metode Ethnografik

Fokus penelitian ethnografik adalah pola-pola tindakan bahasa, ritual, dan pola-pola hidup yang dipelajari. Sebagai sebuah proses, penelitian ini melibatkan kerja lapangan yang membutuhkan banyak waktu, melakukan pengamatan secara khusus dan wawancara sederhana dengan para peserta, dan mengumpulkan berbagai artefak. Sudut pandang informan dapat dicatat secara seksama dan dibuat melalui kutipan-kutipan yang diedit secara teliti. Produk akhir berupa uraian komprehensif, yaitu uraian berbentuk deskripsi naratif yang bersifat holistik dan interpretatif melalui penyatu-paduan semua aspek kehidupan informan serta pengilustrasian kompleksitasnya.

b) Metode Fenomenologi

Penelitian fenomenologi menjelaskan makna/pengertian tentang pengalaman hidup. Teknik yang digunakan adalah wawancara yang bertujuan memahami perspektif para informan atas fenomena kehidupan sehari-harinya. Penelitian ini memungkinkan pembaca merasa bahwa mereka paham secara utuh tentang konsep yang berkaitan dengan pengalaman khusus seseorang atau sekelompok orang, misalnya kemampuan berbahasa para penderita disleksia dan authisme, kemampuan membaca penyandang tunagrahita, tunawicara, dan tunarungu. 

c) Metode Studi Kasus

Fokus penelitian studi kasus dalam pendidikan bahasa dapat berupa suatu entitas (suatu tempat) atau beberapa entitas (studi multi tempat), seorang individu, sekelompok individu, lingkungan hidup manusia, serta lembaga sosial yang terkait dengan pendidikan bahasa. Penelitian ini mendeskripsikan kasus, analisis tema atau isu, dan interpretasi atau pembuktian penelitian terhadap kasus. Misalnya pengaruh didirikannya pondok baca di daerah pedesaan; studi logitudinal tentang kemampuan linguistik anak.

d) Metode Grouded Theory

Istilah grouded theory sering digunakan untuk merujuk pada pendekatan yang membentuk gagasan teoritis yang dimulai dengan data. Oleh karena itu, teori ditemukan, disusun, dan dibuktikan melalui pengumpulan data yang sistematis serta analisis data yang berkenaan dengan fenomena itu. Peneliti tidak memulai penyelidikannya dari suatu teori tertentu lalu membuktikan, tetapi dari suatu kajian dan hal-hal yang terkait dengan bidang tersebut (Strauss & Corbin via Syamsuddin dan Damaianti, 2006: 22-26). Grounded theory yang bisa diakui tersusun secara baik ialah yang bisa diterapkan terhadap suatu fenomena dengan memenuhi empat kriteria, yaitu kesesuaian, pemahaman, generalitas, dan kontrol.

e) Metode Noninteraktif

Metode penelitian noninteraktif, yang disebut penelitian analitis, menyelidiki konsep dan peristiwa historis melalui analisis dokumen. Dokumen ilmiah adalah sumber utama. Peneliti bisa menafsirkan fakta-fakta dari dokumen untuk memberikan penjelasan tentang masa lampau dan mengklarifikasi makna/pengertian masalah pendidikan bahasa yang mendasari isu-isu masa kini. Penelitian ini meliputi analisis konsep dan analisis historis. 

2) Metode Penelitian Kuantitatif Dalam Pendidikan Bahasa

Penelitian kuantitatif dengan paradigma positivisme, memandang kehidupan sosial mempergunakan asumsi-asumsi mekanistik dan statistik dari ilmu kealaman. Penelitian ini mempelajari permukaan masalah atau bagian luarnya, bersifat memecahkan kenyataan dalam bagian-bagian, mencari hubungan antar variabel yang terbatas, dengan tujuan mencapai generalisasi guna meramalkan atau memprediksi, dan bersifat deterministik tertuju kepada kepastian dengan menguji hipotesis. Datanya berupa data kuantitatif, koding yang dapat dikuantifikasi, atau statistik bilangan. 
Metode-metode penelitian kuantitatif yang digunakan dalam menyusun Ilmu Pendidikan Bahasa (Syamsuddin dan Damaianti, 2006: 22-26), antara lain: 

a) Metode Eksperimen

Penelitian eksperimen dalam pendidikan bahasa bertujuan melihat pengaruh variabel tertentu terhadap variabel yang lain. Dalam penelitian ini terdapat kelompok yang disebut eksperimen dan kontrol. Misalnya, pengaruh model pembelajaran interaktif dalam membaca terhadap kemampuan membaca siswa dalam kondisi dikontrol secara ketat. Kelompok yang dipengaruhi adalah kelompok yang diberi pembelajaran membaca melalui moodel interaktif sedangkan kelompok kontrol adalah siswa yang tidak dipengaruhi oleh model interaktif. 

b) Metode Subjek Tunggal

Metode penelitian subjek tunggal memberikan alternatif dengan menspesifikasi metode yang bisa digunakan dengan hanya seorang atau hanya sebagian kecil subjek yang memungkinkan dilakukannya simpulan. Dalam penelitian ini terdapat manipulasi langsung tetapi tidak dilakukan penarikan sampel rambang. Misalnya penelitian mengenai efektifitas suatu program bagi siswa SD yang tidak mau membaca. Ada sebagian kecil siswa yang tidak mau membaca di kelompoknya. Jadi, desain penelitian kelompok tidak tepat. Jika peneliti melihat suatu perubahan bertepatan dengan penerapan program tersebut maka peneliti dapat membuat simpulan bahwa program baru tersebut dapat menyebabkan perubahan perilaku membaca.

c) Metode Deskriptif

Penelitian deskriptif bertujuan menjelaskan fenomena yang ada dengan menggunakan angka-angka untuk mencandrakan karakteristik individu atau kelompok. Penelitian ini menggambarkan karakteristik sesuatu sebagaimana adanya. Contoh penelitian ini adalah berapa besar nilai rata-rata kemampuan efektif membaca siswa SD dan berada pada tingkat berapa kemampuan membaca siswa.

d) Metode Komparatif

Penelitian komparatif melakukan penyelidikan adanya perbedaaan antara dua atau lebih kelompok terhadap fenomena yang sedang dipelajari. Seperti dalam penelitian deskriptif, penelitian komparatif tidak ada manipulasi atau kontrol langsung terhadap hal yang diteliti. Misalnya, perbedaan jenis karangan antara siswa laki-laki dan perempuan; perbandingan tingkat pemahaman wacana antara anak yang membaca menggunakan musik dan tanpa mendengarkan musik.

e) Metode Korelasional

Penelitian korelasional berhubungan dengan penilaian hubungan antara dua atau lebih fenomena. Hubungan yang diukur merupakan pernyataan tentang tingkat hubungan antar variabel. Terdapat dua jenis korelasi, yaitu korelasi positif dan korelasi negatif. Contohnya, penelitian tentang hubungan tingkat keterbatasan wacana dengan pemahaman wacana dan hubungan tingkat keterbatasan wacana dengan pemahaman wacana. 

f) Metode Survei

Penelitian survei dalam pendidikan bahasa adalah upaya mengamati fenomena bahasa dengan melibatkan populasi yang besar maupun yanng kecil. Dalam penelitian ini, peneliti menentukan sumber data sesuai dengan tujuan penelitian, membuat kuesioner, atau melakukan wawancara untuk mengumpulkan data. Contohnya, bagaimana gambaran sikap dan motif siswa terhadap pembelajaran bahasa kedua dan bagaimana pengaruh usia siswa terhadap kemampuan berbicara.

g) Metode Ex Post Facto

Penelitian ex post facto menyelidiki hubungan sebab akibat yang mungkin antar variabel yang tidak bisa dimanipulasi oleh peneliti. Peneliti fokus pada apa yang telah terjadi secara berbeda kepada kelompok subjek. Contohnya, pengaruh kebiasaan membaca orang tua terhadap minat membaca siswa. Kebiasaan membaca orang tua tidak bisa dimanipulasi, sehingga peneliti melihat pengaruhnya setelah kondisi tersebut terjadi.

C. KESIMPULAN

Epistemologi ilmu merupakan cara bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menghasilkan temuan berupa ilmu. Ilmu yang merupakan pengetahuan sistematis yang dihasilkan dari kegiatan kritis yang tertuju pada penemuan, mempunyai banyak cabang lagi. Salah satu cabang ilmu adalah linguistik terapan, yaitu salah satu ilmu bahasa yang kepentingan memecahkan masalah-masalah praktis yang terdapat di dalam masyarakat. Ilmu linguistik terapan sendiri mempunyai beberapa bagian yang salah satu diantaranya adalah ilmu pendidikan bahasa, yaitu sebuah sistem pengetahuan tentang pendidikan bahasa yang diperoleh melalui riset. Dengan demikian epistemologi ilmu khususnya ilmu pendidikan bahasa adalah bagaimana cara menyusun pengetahuan yang benar sehingga menghasilkan temuan berupa pendidikan bahasa.
Ketika membahas tentang cara menyusun pengetahuan berupa ilmu, maka tentu kita berhadapan metode ilmiah, yaitu landasan dari epistemologi itu sendiri. Metode ilmiah tidak terlepas dari penelitian. Dengan penelitian kita akan memperoleh konsep untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan. Dengan penelitian pendidikan bahasa kita akan  menemukan dan mengembangkan teori, model, atau strategi baru dalam pendidikan bahasa sampai kepada menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah pendidikan bahasa, dan  membuat keputusan atau kebijakan. Terdapat banyak macam metode yang digunakan dalam penelitian pendidikan bahasa.

Daftar Pustaka


Brown, Douglas. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta. Kedutaan Besar Besar Amerika Serikat.

Chaer, Abdul. 2014. Linguistik Umum. Jakarta. PT Asdi Mahasatya.


Krashen, Stephen D. 2009. Principles and Practice in Second Language Acquisition. Oxford. Pergamon Press Inc. 

Mudyahardjo, Redja. 2012. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.



Syamsuddin, A.R. & Damaianti, Vismaia S. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Selasa, 24 November 2015

TEORI PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA

TEORI PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA

Oleh : Robinson
Mahasiswa Linguistik Terapan
Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
2015

A.  PENDAHULUAN
1.   Pertanyaan Kajian
a.   Apakah pengertian pemerolehan bahasa itu?
b.   Apakah teori pemerolehan bahasa itu?
c.   Apa konsep-konsep pemerolehan bahasa pertama?
d.   Apa perbedaan pemerolehan dan pembelajaran?
e.   Bagaimana anak memproduksi ujaran atau wicara dan bagaimana urutannya?
f.    Bagaimana anak memahami ujaran dan bagaimana urutannya?
g.   Bagaimana pemerolehan bahasa pertama dari aspek fonologi?
h.   Bagaimana pemerolehan bahasa pertama dari aspek sintaksis?
i.    Bagaimana pemerolehan bahasa pertama dari aspek semantik?
j.    Bagaimana pemerolehan bahasa pertama dari aspek pragmatik?
2.   Outline Kajian
a.   Teori Pemerolehan Bahasa Pertama
1)  Hakikat Pemerolehan Bahasa Pertama
2)  Pengertian Pemerolehan Bahasa
3)  Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa
4)  Konsep Pemerolehan Bahasa Pertama
1.   Pokok-pokok Pemerolehan Bahasa
2.   Imitasi dan Input Korektif
b.   Pemerolehan Produksi Wicara
1)  Tahap Ocehan
a)  Bahasa Orang Tua
b)  Bahasa Bayi (Baby talk)
c)  Dari Vokalisasi ke Ocehan
d)  Dari Ocehan ke Tuturan
2)  Tahap Wicara Awal
a)  Naming : Tuturan Satu Kata
b)  Holofrastis : Tuturan Satu Kata
c)  Ujaran Telegrafis : Tuturan Dua Kata
d)  Pemerolehan Morfem
c.   Pemerolehan Komprehensi Ujaran
1)  Tahap Input Janin
2)  Pemahaman Tanpa Wicara
d.   Pemerolehan Bahasa Pertama dari Aspek Fonologi
e.   Pemerolehan Bahasa Pertama dari Aspek Sintaksis
f.    Pemerolehan Bahasa Pertama dari Aspek Pragmatik
g.   Pemerolehan Bahasa Pertama dari Aspek Semantik











B.  PEMBAHASAN
1.   Teori Pemerolehan Bahasa Pertama
a.   Hakikat Pemerolehan Bahasa Pertama
Menurut Clark (2009: 1), bahasa merupakan hal yang manusiawi. Kita menggunakan bahasa setiap hari sebagai sarana komunikasi dan bahasa tertulis memungkinkan kita untuk mampu merekam sejarah dari generasi ke generasi. Bahasa itu sendiri sangat kompleks karena memiliki sistem suara yang memungkinkan kita untuk menggunakan berbagai macam bahasa yang berbeda-beda, dengan kosa kata sekitar 50.000 sampai 100.000 istilah yang dipakai oleh orang dewasa, serta serangkaian konstruksi yang berhubungan kata-kata tersebut. Hal ini memungkinkan kita untuk mengekspresikan ide-ide yang tidak terhitung banyaknya, menggambarkan peristiwa, bercerita, membaca puisi, membeli, menjual, tawar-menawar di pasar, mengelola sistem hukum, membuat pidato politik, dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan lain yang dalam lingkungan masyarakat. Ini semua adalah bagian integral dari sehari-hari yang kita andalkan untuk menyampaikan keinginan dan kebutuhan, pikiran, kekhawatiran, dan rencana. Menggunakan bahasa tampaknya sejalan dengan bernafas atau berjalan.
Anak-anak yang lahir akan memperoleh bahasa. Dalam mendapatkannya mereka akan menghadapai hal-hal yang sangat rumit karena bahasa sangat kompleks. Belajar bahasa tidak seperti belajar menyimpan sepatu. Hal ini jelas bahwa bahasa menuntut yang lebih banyak. Bukan hanya sistem suara, kosakata, sintaksis dan struktur kata. Struktur hanyalah sebagian yang harus dipelajari dan sebagian lainnya adalah fungsi dari setiap elemen bahasa itu sendiri (Clark, 2009: 2).
b.   Pengertian Pemerolehan Bahasa
Menurut Clark (2009: 1), pemerolehan bahasa adalah proses dimana anak memperoleh bahasa pertamanya yaitu dengan memahami, dan menghasilkan suara, kata-kata, dan kalimat, karena mereka harus memahami dan menggunakan bahasa untuk bekerja sama dan mencapai tujuan. Pengertian lain dari pemerolehan bahasa adalah proses anak yang mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal. Pemerolehan bahasa pertama terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah mampu mengucapkan satu bahasa. Menurut Steinberg dan Sciarini (2006: 3), anak-anak dapat dikatakan telah belajar bahasa pertamanya ketika mereka mampu mengucapkan bentuk ucapan yang dapat dikenal dan itu dilakukan bersamaan dengan beberapa objek atau peristiwa pada situasi tertentu.
Dibawah ini beberapa teori pemerolehan bahasa :
1)  Teori Environmental
Teori environmental menyatakan bahwa lingkungan beperan penting dalam penyediaan informasi yang mendukung anak-anak mengembangkan bahasanya (Skinner via Levey dan Polirstok, 2011: 18). Pengalaman lingkugan dalam hal ini adalah interaksi anak-anak dengan berbagai individu, objek, dan peristiwa yang mendukung kesempatan mereka untuk belajar bahasa dan simbol (kosakata) yang berbaur dengan objek dan peristiwa tersebut.
2)  Teori Innate
Teori Innate berpendapat bahwa pengaruh bawaan anak-anak sejak lahir memperlengkapi dasar mereka dalam pengembangan bahasanya (Chomsky via Levey dan Polirstok, 2011: 19).  Mekanisme innate ini terkenal dengan istilah Language Acquistion Device (LAD), sebuah perangkat yang mempersiapkan atau memfasilitasi anak-anak untuk memproses perolehan bahasanya pada lingkungan tertentu. LAD ini mempunyai fungsi yang sangat banyak untuk medukung proses pemerolehan bahasanya diantaranya memfasilitasi anak untuk menganalisis kalimat yang didengarnya dan menggunakan analisis ini untuk memproduksi kalimat yang gramatikal.
3)  Teori Emergentism
Teori emergentism berpendapat bahwa keterampilan dari bawaan (innate) dan pengalaman lingkungan (environmental) bersama-sama menjadi faktor penting untuk pengembangan bahasa anak (Karmiloff via Levey dan Polirstok, 2011: 19). Lebih lanjut dijelaskan bahwa gen dan interaksi lingkungan yang menentukan hasil dalam perkembangan kognitif dan bahasa anak. Hal ini menolak teori yang mengatakan bahwa kecerdasan bawaan dan kontkes interaksi berjalan sendiri untuk bertanggung jawab atas perkembangan bahasa anak. Singkatnya, kaum emergentism berpendapat bahwa bahasa dikembangkan dari interaksi antara struktur kognitif anak-anak dengan lingkungannya.
c.   Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa
Pemerolehan bahasa merupakan proses bawa sadar; bahasa diperoleh tanpa disadari bahwa kita sedang memperoleh bahasa tersebut, namun kita hanya menyadari bahwa kita sementara menggunakan bahasa tersebut untuk berkomunikasi (Krashen, 2009: 10). Hasil dari pemerolehan bahasa yaitu dengan memperoleh kompetensi, yang hal ini juga kita tidak menyadarinya. Kita hanya sadar pada aturan-aturan bahasa tersebut.
Hal yang kedua yakni pebelajaran bahasa. Menurut Krashen (2009: 10), pembelajaran bahasa adalah memperoleh atau mengetahui secara sadar akan bahasa kedua, mengetahui aturan-aturannya, dan mampu untuk menggunakannya dalam percakapan. Istilah lain dari pembelajaran adalah pengetahuan bahasa secara formal. Jadi  pemerolehan dan pembelajaran bahasa merupakan dua proses yang berbeda dalam memperoleh bahasa. Pemerolehan bahasa didapatkan tanpa disadari dan pembelajaran bahasa didapatkan/dipelajari dengan sengaja dan disadari.
d.   Konsep Pemerolehan Bahasa Pertama
Bayi yang lahir tidak serta merta berbicara (Clark, 2009: 1). Mereka harus belajar bahasa sejak setelah dilahirkan. Apa yang mereka pelajari? Mereka memerlukan bunyi dan kata-kata yang mempunyai arti. Mereka harus mengerti bahasa apa yang dipakai, kapan, dan dimana digunakan.
1)  Pokok-pokok pemerolehan bahasa sebagai berikut :
a)  Tabula Rasa
Timbul perdebatan antara istilah nuture (anak lahir dilengkapi dengan struktur dan kapasitas bawaan tanpa campur tangan lingkungan) dan nurture (apa yang mereka peroleh dari pengalaman). Apakah anak lahir dengan istilah “tabula rasa” atau datang dengan serangkaian bawaan? Namun ahli biologi umumnya berpendapat bahwa dikotomi ini tidaklah benar. Perkembangan janin sampai dewasa ditentukan oleh kesehatan dan gisi ibunya, sehingga untuk membedakan nuture dan nurture sedikit mustahil (Clark, 2009: 2).
b)  Pembedaan Bahasa
Dalam pemerolehan bahasa, terdapat beberapa pembedaan diantaranya; penggabungan beberapa suara yang digunakan seperti memungkinkan penggunaan sebuah konsonan untuk memulai satu suku kata (top) dan juga penggabungann konsonan (stop, trip); penggabungan huruf vokal dalam sebuah suku kata (heat vs height). Pembedaan selanjutnya adalah pembagian dalam kelas-kelas kata seperti kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan dan preposisi (Clark, 2009: 3). Bahasa juga dibedakan dari aspek tujuan gramatikal (subject, predikat, dan objek) atau secara pragmatik (pengidentifikasian informasi yang diberikan)
c)  Kompleksitas untuk pembelajaran
Bahasa juga dibedakan dalam bentuk mudah atau sulitnya dalam mempelajari bahasa tersebut (Clark, 2009: 4). Tentu tingkat kesulitan yang bervariasi ini akan memudahkan anak-anak untuk mempelajari tingkat kesulitan yang agak rendah, selanjutnya waktu demi waktu belajar yang lebih sulit lagi seiring dengan perkembangan anak tersebut. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua dari pada dalam dalam pemerolehan bahasa pertama.
d)  Dimensi Sosial
Ketika orang dewasa berbicara terhadap anak-anak, mereka secara langsung atau tidak langsung menawarkan informasi yang luas tentang bahasa mereka terhadap anak-anak (Clark, 2009: 5). Dalam percakapan orang dewasa dan anak-anak, orang dewasa menginginkan anak-anak bisa merespon permintaannya sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Dalam rangkaian pembelajaran percakapan, orang dewasa menggunakan tindakan dan objek yang umum. Dalam hal ini orang dewasa menggunakan kata-kata atau objek yang ada di sekitar anak-anak.
Memahami banyak elemen sebuah bahasa tidak menjamin seseorang untuk menafsirkan ucapan-ucapan secara tepat. Kita harus memahami penggunaan bahasa secara konvensional. Contoh dalam bahasa Inggris ”Can  you open the door?”, apakah pertanyaan tersebut menanyakan tentang kemampuan (can) atau permintaan kepada seseorang untuk membuka pintu, konteks ini tergantung dari bagaimana lawan bicara memahami pertanyaan tersebut (Clark, 2009: 6). Dalam hal ini, pemahaman mengenai apa yang diharapakan penutur, tergantung kebiasaan umum dari ujaran komunitas tersebut. Jadi tergantung dari hubungan antara penutur dan lawan bicaranya.
e)  Dimensi kognitif
Apa yang anak-anak tahu sampai pada usia satu tahun? Mereka sudah bisa mengindetifikasi objek dan tahu dimana mereka menyimpannya,  dan mampu menguraikan hal-hal di sekitarnya (Clark, 2009: 7). Mereka mampu mengatur gambaran mengenai apa yang mereka lihat dan tahu. Mereka mempergunakan semua itu sebagai ingatan mereka, pertama dipakai dalam gerak tubuh dan sikapnya, selanjutnya dalam kata-katanya (Piaget via Clark, 2009: 7).
Pengaturan konsep awal juga menjadi petunjuk bagaimana anak-anak kuat dalam mempelajari bahasa. Mereka harus mampu menggunakan pengalaman sebelumnya untuk mengenali kapan objek atau peristiwa muncul kembali. Mereka harus mengatur gambaran mengenai apa yang mereka lihat, dengar, rabah, dan rasakan sehingga mereka dapat mengenali  hal-hal yang muncul kembali (Clark, 2009: 8). Tanpa gambaran-gambaran tersebut dalam memorinya, mereka akan sulit untuk mengatur pengalamannya.
2)  Imitasi dan Input Korektif
a)  Imitasi
Imitasi menurut Steinberg dan Sciarini (2006: 30), adalah peniruan dan pengulangan ucapan anak terhadap apa yang didengarnya. Hal senada juga dikemukakan oleh Saxton (2010: 88), bahwa imitasi adalah bentuk ktiris dari interaksi perkembangan bahasa baik dalam bentuk verbal maupun non-verbal. Hampir semua orang percaya bahwa bahasa diperoleh dari hasil imitasi. Melalui imitasi anak-anak belajar bagaimana mengucapkan bunyi atau kata yang menyerupai suara yang mereka dengar
Pihak yang paling berperan dalam hal ini adalah orang tua. Saxton (2010: 89) mengatakan bahwa anak-anak belajar bahasa melalui peniruan terhadap orang tuanya. Bahkan lebih lanjut Saxton (2010: 89) menekankan bahwa “surprisingly, though, researchers have largely ignored imitation as a serious faktor in child language acquisition”. Imitasi merupakan faktor yang kuat dalam pemerolehan bahasa anak-anak.
Pandangan Skinner (via Saxton, 2010: 90) yang terkenal dengan behavioristiknya, dengan istilah “operant conditioning”, adalah setiap kali anak bertutur yang sesuai dengan kata yang benar maka akan diberikan pujian oleh orang tuanya. Sebaliknya hukuman diberikan ketika pengucapan anak tersebut jauh dari apa yang diharapkan. Behaviorist menekankan pada aspek lingkungan dan situasi yang berpengaruh terhadap pemerolehan bahasa anak. Kemampuan berbicara dan memahami bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari lingkungannya dan anak dianggap sebagai penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak memiliki peranan yang aktif didalam proses perkembangan perilaku verbalnya. Skinner sangat sedikit menyinggung tentang imitasi. Namun dengan contoh-contoh yang diberikan itulah yang kebanyakan orang sebut sebagai imitasi menurut Skinner.
Lain halnya dengan Chomsky (via Saxton, 2010: 90), yang menegaskan bahwa anak-anak mendapatkan sikap verbal dan non-verbalnya melalui observasi yang tak disengaja/ secara kebetulan dan imitasi terhadap orang dewasa dan anak-anak yang lain. Pada dasarnya Chomsky berpendapat bahwa secara keseluruhan fungsi imitasi dalam pemerolehan bahasa hanya sedikit kontribusinya. Hal ini diebabkan oleh orang yang akan ditiru dalam hal ini orang dewasa sangat kurang dalam memberikan model. Jadi lingkungan tidak terlalu berpengaruh terhadap perilaku berbahasa karena sejatinya bahasa merupakan bawaan genetik. Oleh karena itu, imitasi  mempunyai keterbatasan dalam hal pemerolehan pemahaman bahasa anak-anak. Imitasi hanya berfungsi untuk pemerolehan produksi bahasa anak-anak. Hal ini tidak berarti bahwa imitasi tidak penting, tapi memang hanya terbatas untuk pengembangan artikulasi bunyi untuk anak-anak.
b.   Input Korektif
Ciri khas dari pemerolehan bahasa anak adalah banyaknya ungkapan yang salah. Hal ini akan membuat orang dewasa yang mendengarnya merasa perlu untuk memberi penjelasan. Salah satu penjelasan yang biasa dilakukan adalah dengan mengoreksi pembicaraan anak tersebut. Saxton (2010: 95) mengungkapkan bahwa the main function of recasts is to maintain the flow of conversation with a partner who is cognitively immature. Jadi hal ini dipraktekkan dengan mengulangi beberapa atau semua perkataan anak yang salah menjadi susunan kata yang benar secara gramatikal. Dibawah ini contoh ungakapan input korektif dari Brown (via Saxton, 2010: 94-95):
Eve : Eve get big stool
Mother : No, that’s the little stool.
Eve : Milk is there.
Mother : There is milk in there
Eve : Turn after sarah.
Mother : You have a turn after sarah.
Banyak orang beranggapan bahwa pengoreksian terahadap anak-anak yang mengucapkan kata atau kalimat yang salah secara gramatikal akan menghasilkan perbaikan. Tetapi dalam bukunya, Steinberg dan Sciarni (2006: 32) tidak menghendaki koreksi kesalahan pada ujaran anak-anak secara gramatikal.  Dijelaskan bahwa ketika orang tua berusaha untuk selalu mengoreksi ucapan anaknya, maka hasilnya sering sia-sia dan bahkan anak-anak bisa frustrasi. Ada beberapa alasan mengapa koreksi tidak efektif, diantaranya anak-anak harus :
(1)  Memahami perbedaan antara ujarannya dengan ujaran orang tuanya.
(2)  Menentukan apa dasar dari kesalahannya.
(3)  Menetapkan apa-apa yang harus dirubah supaya ujarannya sesuai   
      dengan harapan orang tuanya.
Hal ini hanya akan menjadi beban bagi anak dan akan merasa kesulitan untuk berkembang karena selalu dihantui dengan cacian ketika berujar yang salah.
2.   Pemerolehan Produksi Wicara
a.   Tahap Ocehan
1)  Bahasa Orang Tua
Bahasa orang tua atau parentese adalah jenis ujaran yang didapatkan oleh anak-anak pada waktu mereka masih kanak-kanak (Steinberg dan Sciarini, 2006: 27). Parentese juga merujuk pada istilah motherese, caregiver speech, Adult-to-Child Language (ACL) (Reich via Steinberg dan Sciarini, 2006: 27) dan Child-Directed Speech (CDS) (Pine, via Steinberg dan Sciarini, 2006: 27). Berdasarkan istilah-istilah diatas dapat disimpulkan bahwa anak-anak mendapatkan input bahas dari banyak sumber; ayah, ibu, saudara kandung, kerabat, dan teman. Jadi bahasa orang tua, dalam hal ini tidak merujuk hanya pada orang tua kandung anak-anak, tetapi orang tua dalam arti luas atau orang dewasa yang menjalin komunikasi dengan anak-anak.
Ujaran yang digunakan orang tua dan orang dewasa lainnya terhadap anak-anak mempunyai karakteristik tersendiri, dan jelas akan membantu anak-anak dalam belajar bahasa (Steinberg dan Sciarini, 2006: 27). Dalam hal ini ujaran tersebut tidak digunakan untuk percakapan antara orang dewasa.
Pada umumnya tuturan secara langsung terhadap anak-anak sangat gramatikal dan mudah terhapami, walaupun terkadang juga muncul tuturan yang tidak benar secara gramatikal tetapi jarang (Steinberg dan Sciarini, 2006: 28). Sebagai contoh studi dalam waktu yang lama dilakukan oleh Newport (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 28), memberikan bukti bahwa dari 15 ibu, terdapat hanya 1 tuturan yang salah secara gramatikal dari 1500 tuturan. Hal ini akan sangat membantu anak-anak untuk memperoleh ucapan-ucapan yang benar secara gramatikal ketika berbicara dengan orang tua. Adapun kalimat yang dipakai oleh orang tua ketika berbicara terhadap anak-anak cenderung pendek dan sederhana. Contohnya kalimat “the dog wants water” bukannya kalimat “the dog which has been running a lot wants to drink a some woter” (Steinberg dan Sciarini, 2006: 28).
Kosakata yang digunakan oleh orang dewasa untuk berbicara terhadap anak-anak, sederhana dan terbatas (Phillips via Steinberg dan Sciarini, 2006: 28). Orang tua selalu memilih kosakata yang mudah dipahami oleh anak-anak. Orang tua akan memilih struktur fonologi yang sederhana, contoh; kata “see” bukan “notice”, “hard” bukan “difficult” (Ferguson via Steinberg dan Sciarini, 2006: 28). Contoh yang lain seperti kata konsonan tambah vokal; “mama”, “wawa”, dan “byebye” yang digunakan, bukan “mother’, “water’ dan ‘goodbye’.
Dari aspek intonasi, nada, dan tekanan kata dalam berbicara terhadap anak-anak, Drach (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 28) mengatakan bahwa orang dewasa cenderung memperbesar intonasi pembicaraanya. Selain memperbesar intonasi, juga menggunakan nada tinggi, tuturan yang agak lambat, dan sering megulangi pembicaraannya.
Hal yang menarik dari aspek anak-anak yang berusia sekitar empat tahun, cenderung bisa menyesuaikan ketika berbicara dengan orang dewasa dan anak dengan usia sekitar dua tahun. Shatz and Gelman (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 28) mengatakan bahwa anak dengan usia empat tahun memakai tuturan sederhana ketika berbicara dengan anak-anak usia dua tahun, tetapi tidak demikian ketika berbicara terhadap orang dewasa, meskipun anak tersebut tidak mempunyai saudara kandung.
2)  Bahasa Bayi (Baby Talk)
Bahasa bayi atau baby talk dibentuk dari parentese namun dengan karakteristiknya sendiri (Steinberg dan Sciarini, 2006: 29). Bagaimanapun juga, orang tua adalah orang yang paling dekat dan sering berbicara dengan bayinya. Lanjut Steinberg dan Sciarini (2006: 29) menjelaskan bahwa kosakata bahasa bayi merupakan kosakata yang banyak dimodifikasi. Namun kosakata tersebut merupakan kosakata yang standar karena bahasa bahasa bayi dipelajari oleh orang tuanya terhadap orang dewasa lainnya.
Struktur bunyi utama bahasa bayi cenderung didominasi oleh unit silabel konsonan vokal yang sering diulangi (Steinberg dan Sciarini, 2006: 29). Contohnya, dalam bahasa Inggris “bow-bow” (anjing), “pee-pee” (kencing), dalam bahasa Jepang “wan-wan” (anjing/inu), “shee-shee” (kencing/nyoli), dan “bu-bu” (mobil/jidhosa). Dasar konstruksi bahasa bayi yang lain adalah pembetukan atau pengucapan sebuah kata yang menirukan bunyi dari benda tersebut (Steinberg dan Sciarini, 2006: 29). Contoh dalam bahasa Inggris “bow-bow” dan dalam bahasa Jepang ‘wan-wan” menirukan suara anjing pada saat menggonggong.
Dari aspek sintaksis, ciri umum dalam bahasa bayi adalah penggantian kata ganti menjadi nama orang yang dalam hal ini tidak biasanya didapatkan dalam percakapan antar orang dewasa (Steinberg dan Sciarini, 2006: 30). Sebagai contoh, seorang ibu mengakatan kepada anaknya, Tony, “Mommy give Tony banana”. Dalam ungkapan tersebut tidak terdapat kata modal “wiil” dan artikel “a”. Mommy dan Tony menggantikan kata ganti “I” dan “you” untuk lebih menyederhanakan ungkapan tersebut.
3)  Vokalisasi ke Ocehan
Menurut  Lenneberg (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 3), dimana-mana pada waktu anak-anak lahir, meskipun tuli, mereka megeluarkan bunyi yang relatif sama. Lebih lanjut  Steinberg dan Sciarini (2006: 3) mengungkapkan bahwa sebelum balita mengoceh, mereka mengeluarkan bunyi seperti menangis, mendengkur, dan mendeguk. Kemampuannya mengucapkan bunyi tersebut, muncul tanpa dipelajari. Pada usia sekitar tujuh bulan, bayi mulai mengoceh. Ocehan-ocehan tersebut seperti pengulangan silabel (baba, momo dan pan-pan). Namun sesungguhnya ocehan yang dikeluarkan oleh bayi sudah dipengaruhi oleh bahasa dimana mereka berada. Produksi ocehan bayi yang menggunakan intonasi tertentu adalah fenomena pembelajaran. Dari sejak usia enam bulan, bayi dari berbagai macam bahasa yang berbeda mulai mengoceh dengan sedikit jelas, dengan menggunakan intonasi bahasa dimana mereka diarahkan (Nakazima  via Steinberg dan Sciarini, 2006: 4).
4)  Ocehan ke Tuturan
Dari suara ocehan sampai kepada seorang bayi berhasil mengucapkan kata yang bermakna, itu terjadi sekitar usia satu tahun. Namun bisa saja terjadi pada bayi sebelum satu tahun atau bahkan lewat satu tahun. Ucapan-ucapan bayi tersebut hanya sedikit yang merupakan hasil bawaan dari ocehan. Kebanyakan akan didapatkan ulang. Hal menjadi perdebatan karena terdapat beberapa studi yang menunjukkan hubungan antara ocehan dengan ucapan yang bermakna.  Kent and Bauer (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 5), mengungkapkan bahwa ocehan menjadi pendekatan terhadap konsonan dan vowel yang hasilnya adalah kata yang bermakna. Tetapi hal tersebut dibantah oleh Jesperson (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 5) yang membedakan antara vokalisasi intensional dan non-intensional. Ocehan merupakan vokalisasi yang non-itensional dimana ungkapan yang keluar secara spontan dan tidak disertai dengan kontrol kognitif. Sementara tuturan yang bermakna adalah tuturan yang disertai dengan kontrol kognitif dimana anak-anak tidak serta merta berbicara namun sesuai dengan objek atau persitiwa yang terjadi.
b.   Tahap Wicara Awal
1)  Naming : Tuturan Satu Kata
Penamaan atau naming dalam bahasa Inggris, yaitu ketika anak mengenal sebuah kata dan mengucapkannya pada waktu dan tempat yang tepat. Ketika seorang anak mengucapkan sebuah kata seperti “mama”, maka boleh jadi dan boleh juga tidak itu merupakan sebuah pengetahuan anak terhadap sebuah kata. Menurut Steinberg dan Sciarini (2006: 3), anak-anak dapat dikatakan telah belajar bahasa pertamanya ketika:
a)  Mereka mampu mengucapkan bentuk ucapan yang dapat dikenal.
b)  Ketika itu dilakukan bersamaan dengan beberapa objek atau peristiwa di situasi tertentu.
Ucapan-ucapan tersebut tidak sempurna misalnya “da” untuk “daddy” dan bisa saja pengertiannya tidak benar seperti menggunakan kata “da” untuk semua orang. Sejauh seorang anak mengucapkan kata yang dapat dipahami, maka dapat dikatakan bahwa anak tersebut telah memahami sebuah kata yang bermakna. Hal ini terjadi pada usia anak dari enam sampai delapan belas bula atau lebih.
2)  Holofrasis : Tuturan Satu Kata
Anak-anak tidak hanya menggunakan kata tunggal untuk merepresentasikan objek tertentu, tetapi juga menggunakannya untuk mengekspresikan pemikiran yang kompleks termasuk objek-objek (Steinberg dan Sciarini, 2006: 7). Contoh yang lain ketika anak tersebut menunjuk sebuah mainan dan mengatakan “mama”, mengindikasikan anak tersebut ingin dibelikan sepatu. Anak-anak dapat mengekspresikan berbagai macam fungsi semantik ide yang kompleks dengan menggunakan satu kata (Bloom via Steinberg dan Sciarini, 2006: 7). Sebenarnya tidak mudah untuk memahami ungkapan anak-anak, selain kita harus memahami latar belakang anak tersebut, pengalaman-pengalaman sebelumnya, kita juga harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengannya untuk membantu kita memahami ucapan-ucapannya.
3)  Ujaran Telegrafis: Tuturan Dua Kata
Pada usia sekitar dua tahun, anak-anak sudah mulai mengucapkan dua atau tiga kata dalam sebuah ucapan (Steinberg dan Sciarini, 2006: 8). Mereka mulai menghasilkan ujaran kata-ganda (multiple-word utterances) atau disebut juga ujaran telegrafis. Namun demikian mereka tidak secara cepat mengucapkan dua kata dengan makna tertentu seperti hanya dengan menambahkan kata yang telah diketahui sebelumnya. Dari tuturan dua kata ini, terdapat tuturan-tuturan yang maknanya lebih dari kata tersebut namun mampu dipahami.  


4)  Pemerolehan Morfem
Menurut Steinberg dan Sciarini (2006: 10), morfem merupakan sebuah akar kata atau bagian dari kata yang mengandung makna. Seperti kataelephants’ terdiri dari dua morfem,  ‘elephant’ dan jamak (s). Ketika anak-anak sudah bisa mengucapkan dua atau tiga kata, maka mereka sudah bisa mengeksplorasi sesuatu makna. Mereka sudah bisa mengucapkan kata-kata fungsional seperti preposisi (dalam bahasa Inggris in dan on), kata modal (can dan will), kata bantu (do, be, dan have) yang disebut pemerolehan morfem.
3.   Pemerolehan Komprehensi Ujaran
a.   Tahap Input Janin
Berbaga hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli dalam hal membuktikan bahwa apakah pendengaran telah terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan ibunya, diantaranya :
1)  Benzaquen (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 20) menemukan bahwa bunyi tuturan ibu mampu ditangkap oleh telinga janin atas dasar bunyi dari denyut jantung dan aliran darah ibu tersebut.
2)  Lecanuet (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 20) menemukan adanya  reaksi jantung janin ketika sebuah pengeras suara diletakkan di samping ibu yang sedang hamil.
3)  Locke (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 21) mengatakan bahwa bayi belajar bahasa ibunya, bukan pada saat sebelum lahir, tetapi pada waktu lahir sampai 12 jam setelah kelahirannya ketika ibunya berbicara terhadap anaknya yang baru lahir.
Steinberg dan Sciarini (2006: 21) mengambil kesimpulan bahwa jika janin dapat menangkap suara dari dunia luar, maka itu akan melalui jalur cair dalam kantong janin. Sebagai contoh seorang yang berada dalam air di sebuah kolam renang, maka terdapat bunyi umum yang didengar, tetapi cukup sulit untuk membedakan macam-macam bunyi yang didengar itu (Steinberg dan Sciarini, 2006: 21). Dari berbagai macam hasil penelitian di atas maka bisa dikatakan bahwa telinga janin dapat menangkap bunyi dari aliran darah, denyut jantung ibunya, melalui jalur cair dalam kantong janin.
b.   Pemahaman Tanpa Wicara
Ketika kemampuan untuk mengeluarkan tuturan yang sesuai dengan penempatan yang tepat menjadi indikator baik untuk pengetahuan akan bahasa, maka  ketidakmampuan dalam menghasilkan tuturan bukanlah indikasi kurangnya pengetahuan dalam memahami bahasa (Steinberg dan Sciarini, 2006: 21). Berikut merupakan beberapa contoh fenomena orang-orang yang mempunyai keterbatasan dalam berbicara namun mampu memahami bahasa dengan baik :
1)  Christoper Nolan adalah seorang yang mengalami kerusakan otak dan tidak bisa megeluarkan suara. Meskipun otaknya rusak, tetapi kecerdasan dan pendengarannya tidak terpengaruh.  Oleh karena dia belajar maka Nolan mampu menulis buku yang isinya puisi dan cerpen yang terkenal (Steinberg dan Sciarini 2006: 21-22).
2)  Anne McDonald mengalami hal serupa dengan Nolan. Dia juga mengalami gangguan pada pada produksi suaranya dan harus menggunakan perangkat komputer untuk yang diletakkan di pangkuannya untuk mengeluarkan rekaman pesan. Meskipun cacat, perempuan ini termotivasi untuk belajar filsafat ilmu dan seni. Hasilnya adalah dia berhasil menerbitkan buku dan terus menulis dengan perangkat cetak (Steinberg dan Sciarini 2006: 22).
3)  Rie, seorang gadis kecil dari Jepang, bisu sejak lahir, kecuali mengucapkan kata /i/ dan /a/, yang diucapkan secara pelan dan berbisik. Pada saat dites untuk memahami tuturan (usia 3 tahun), perempuan tersebut meresponnya dengan  baik meskipun perintah-perintah yang kompleks (Steinberg dan Sciarini 2006: 22).
Orang yang bisu tetapi pendengarannya baik, maka orang tersebut mampu mengembangkan kemampuannya untuk memahami tuturan meskipun tidak mampu menghasilkan ujaran, selama kecerdasan dasarnya utuh (Steinberg dan Sciarini 2006: 22). Orang bisu juga bisa mengembangkan tata bahasa, yaitu tata bahasa mental yang didasarkan pada pemahaman ujaran, yang memungkinkan mereka memahami ujaran yang mereka dengar. Jadi intinya adalah ketika kecerdasan dasar dan pendengaran seseorang baik, maka mereka mampu memahami ujaran meskipun tidak dapat mengeluarkan ujaran tersebut.
4.   Pemerolehan Fonologi
Fonologi berhubungan dengan aturan yang mengatur pengucapan  kata, frase, dan kalimat (Goodluck, 1991: 6). Sementara Saxton (2010: 4) mengakatakan bahwa fonologi berkonsentrasi pada bunyi tuturan. Jadi fonologi merupakan bagian dari bahasa yang berkonsetrasi pada bunyi yang diucapkan penuturnya. Fonologi terbagi lagi menjadi fonetik dan fonologi itu sendiri. Menurut Goodluck (2010: 11), fonetik berkonsentrasi pada bunyi tuturan yang diproduksi dan dirasakan serta unsur akustiknya, sementara fonetik berkonsentrasi pada bagaimana bunyi digunakan sebagai pembeda makna dan perannya mengatur distribusi bunyi. Pemerolehan bahasa dari aspek fonologis meliputi kemampuan anak menghasilkan bunyi-bunyi bahasa yang berupa vokal dan konsonan namun bunyi tersebut belum sempurna.
a.   Bagaimana bunyi dihasilkan?
Bunyi dihasilkan dari dorongan udara keluar dari paru-paru melalui mulut atau hidung (Goodluck, 2010: 6). Kualitas suara yang keluar tergantung kepada bilik resonansi (mulut, rongga kerongkongan, dan hidung) dan arus udara terhalagi atau tidak. Hal dasar yang paling dibedakan dalam fonologi adalah vokal dan konsonan. Perbedaan antara vokal dan konsonan adalah arus udara setelah melewati pita suara, bunyi vokal tidak mendapat hambatan sedangkan konsonan mendapat hambatan atau gangguan.
b.   Bagaimana bunyi awal pada anak-anak?
Pada awalnya bayi memproduksi bunyi yang tidak ada hubungannya dengan kata-kata untuk orang dewasa (Goodluck, 2010: 18). Bunyi yang tak bermakna tersebut berkembang ke pengulangan ocehan. Disini bayi mengucapkan sperangkat silabel konsonan vokal (CV) dimana setiap ocehan silabel ini tidak jauh dengan silabel-silabel yang lain (pada usia skitar enam bulan). Pada usia sepuluh bulan, silabel berurutan muncul yang memberi banyak variasi (konsonan dan vokal yang berbeda) dan tipe silabel yang lebih luas yaitu “konsonan vokal-vokal konsonan vokal” (VC dan CVC) (Stark via Goodluck, 2010: 19). Tingkatan selanjutnya adalah produksi kata-kata yang dapat dikenali (Vihman via Goodluck 2010: 19).
Apa yang bisa dioceh dan diucapkan anak pada usia tersebut diatas dari aspek fonologis? Menurut Locke (via Goodluck, 2010: 19), pada umumnya konsonan frikatif ([f], [v], ‘thin’ dan then, [ɵ], [ð], etc) dan liquid ([l] dan [r]) belum dibunyikan oleh anak-anak. Dalam ocehan lebih sering menggunakan nasal (melalui hidung) dan konsonan [h]. Dari segi hambatan bunyi, voiced stop ([s] dan [t]) lebih sering diucapkan dibanding voiceless stop (d]).  Perubahan yang biasa terjadi pada waktu proses ocehan akan ditinggalkan adalah berkurangnya penggunaan back (velar) stops. Kata pertama cenderung menggunakan front voiceless stops, nasals, dan vokal [a] (Goodulck, 2010: 19).
5.   Pemerolehan Sintaksis
Pada saat baru lahir, kita tidak dapat memahami speech (perkataan) dan tidak bisa pula memproduksi bahasa (Steinberg dan Sciarini, 2006: 3). Dalam memperoleh sintaksis atau kata, anak pasti melalui tahap produksi silabel seperti meme, pipi, dudu dan sebagainya. kemudian ketika anak memasuki umur sekitar satu tahun, anak  akan mampu mengahasilkan kata (Steinberg dan Sciarini, 2006: 4). Karena yang dihasilkan oleh anak adalah dalam bentuk holofrasa maka kata tersebut harus bisa dipahami. Untuk bisa memahami kata yang diproduksi anak-anak, kita harus memperhatikan beberapa faktor, diantaranya faktor lingkungan tempat anak itu berbicara (Clark, 2009: 22).
Tomasello dan Brooks (via Clark, 2009: 169) mengatakan bahwa kemunculan tipe-tipe konstruksi padal sintaksis awal, itu ditandai pada umur satu tahun, anak sudah bisa menghasilkan tuturan satu kata (single-word utterances), seperti kata benda dan kata sifat. Pada umur satuh enam bulan anak sudah bisa mengkombinasikan kata, seperti mengkombinasikan kata benda dan kata kerja, kata benda dan kata sifat (mama makan, papa pergi, mama lapar, dan seterusnya). Pada umur sekitar dua tahun, anak sudah bisa menghasilkan konstruksi yang disebut verb-island constructions. Terakhir pada umur tiga tahun, anak sudah bisa menghasilkan konstruksi seperti orang dewasa atau more adultlike constructions, jadi pada tahap ini anak sudah bisa berbicara lancar seperti anak dewasa pada umumnya.
Para pembicara tidak menggunakan satu kata, tetapi mereka menggabungkan kata-kata untuk menjadi kalimat yang bisa dipahami (Clark, 2009:13). Tahap pemerolehan sintaksis ini ditandai oleh penguasaan anak terhadap holofrasis, namun holofrasis yang dihasilkan oleh anak sukar dipahami, karena harus merujuk pada situasi dan konteks dimana holofrasis itu diucapkan. Pemerolehan bahasa pertama, tidak boleh dipisahkan dengan sintaksis. Sintakis sangat menentukan anak dalam mengoptimalkan sebuah kalimat yang memiliki makna yang bisa dipahami bukan saja dalam situasi dan konteks namum lebih dari itu.
Davies dan Elder (2004: 39) mengatakan bahwa dasar sintaks adalah dasar sintaksis merupakan fakta bahwa kosakata sebuah bahasa muncul dari berbagai macam kelas kata yang berbeda.  Terdapat banyak kelas kata dalam kosakata bahasa Indonesia seperti, kata benda, kata kerja, kata sifat, preposisi dan sebagainya. penyusunan kalimat dalam bahasa Indonesia  sebenarnya tidak jauh berbeda dengan susunan kalimat dalam bahasa inggris. Contoh sederhana kalimat bahasa inggris “I go to the market” sama polanya dalam bahasa Indonesia dengan “saya pergi ke pasar”. “I” artinya saya kategorinya sebagai subjek dan subjeknya adalah noun, “go” artinya pergi part of speech-nya sebagai verb atau kata kerja (verba), “to” artinya ke merupakan preposisi dan “the market” adalah noun phrase atau frasa nomina yang berfungsi sebagai sebagai keterangan tempat.








S

NP

VP

a

Wise

Man

Is

Honest
Diagram sintaksis kalimat (Chomsky, 1972: 29).














S

Np

V

Det

Adj

N

Died

The

Tall

Man
 

















Keterangan:
NP       : Noun Phrase
VP       : Verb Phrase
DET     : Determiner
V          : Verb
N         : Noun
S          : Sentence

6.      Pemerolehan Semantik
Menurut Ullmann (1977: 1), ruang lingkup semantik itu pada umumnya mengkaji arti dalam bahasa. Arti bahasa dapat berbentuk pengetahuan yang terstruktur dalam bahasa itu sendiri. Arti yang  tersimpan dalam bahasa adalah sebagai sistem tanda lingual  (tanda bahasa). Yang termasuk arti bahasa adalah bentuk yang terstruktur dalam bangunan morfologis dan sintaksis suatu bahasa. Setiap bangunan atau konstruksi morfologis dan sintaksis tertentu selalu mestrukturkan arti tertentu yang disebut arti gramatikal atau arti struktural.
Anak-anak  tidak hanya menggunakan satu kata dalam objek yang dituju, tetapi mereka juga menggunakan satu kata tersebut untuk mengekspresikan apa yang meraka maksud pada objek tersebut. Sebagai contoh, seorang anak yang hilang di pasar kemudian menangis dan memanggil “mama”, artinya kata mama itu bisa berarti “mama dimana” atau ketika anak melihat sepatu dan mengatakan “mama”, bisa saja itu berarti “sepatunya mama” (Steinberg dan Sciarini, 2006: 7). Contoh ini mengandung arti atau makna semantik dalam kata si anak tersebut. Arti semantik tersebut dapat kita analisa berdasarkan fitur atau faktor lingkungan tempat anak tersebut berbicara.
Fitur yang sangat menonjol tentang banyaknya ucapan yang dihasilkan oleh anak-anak adalah sebagai tujuan atau kompleksitas hubungan semantik yang anak-anak tunjukan. Anak menggunakan bahasa untuk meminta, memperingatkan, menamakan, menolak, membual, bertanya, menjawab dan menginformasikan.  Untuk mendapat tujuan tersebut, ucapan anak-anak melibatkan hubungan semantik. Hubungan semantik tersebut bisa berupa agen yang bertindak, yang mengalami, dan yang menerima (Steinberg dan Sciarini, 2006: 8).
Fitur yang kedua dari ucapan anak-anak adalah timbulnya fungsi kata seperti, artikel, proposisi dan kata penghubung. Walaupun itu adalah kata benda, kata kerja, dan kata sifat yang pada umumnya Nampak dalam ucapan anak (Steinberg dan Sciarini, 2006: 8). Hal itu tidak terlalu mengejutkan, jika kita menganggap bahwa ini adalah kelas kata yang memberikan informasi dan anak-anak akan belajar untuk memahami kata-kata tersebut.
Fitur yang terakhir dari ucapan anak yang mungkin bisa dicatat adalah kedekatan korespondensi dari kata-kata anak itu, dan dapat di tempatkan dalam bentuk kalimat yang dapat dipahami. Anak yang belajar bahasa inggris cenderung mengatakan ‘my cup’ daripada ‘cup my’, ‘not tired’ daripada ‘tired not’ dan ‘daddy come’ daripada ‘come daddy’ ketika ingin menjelaskan bahwa ayahnya telah pulang (Steinberg dan Sciarini, 2006: 10). Ini tidak bisa dikatakan bahwa anak tidak bisa menghasilkan kata yang signifikan, atau apakah ini cukup untuk mengklaim bahwa anak menyadari perbedaan kata dalam hubungan semantik. Kata-kata itu menunjukan bahwa anak-anak mampu memahami dan memproduksi kata dengan tepat (Stienberg dan Sciarini, 2006: 10).  
7.   Pemerolehan Pragmatik
Pragmatik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan  konteks yang berdasarkan pada pemahaman bahasa (Levinson via Clark, 2009: 13). Pragmatik juga mengkaji masalah arti atau  makna, tidak jauh berbeda dengan semantik. Semantik pun objek kajianya adalah arti dan makna. Maka dari itu, baik semantik maupun pragmatik sama-sama membahas masalah arti atau makna namun dari sudut pandang yang berbeda. Semantik mengkaji arti  lingual yang tidak terikat konteks, sedangkan pragmatik mengkaji arti yang disebut “the speaker’s meaning” atau arti menurut tafsiran penutur.
Dalam menentukan makna, Pragmatik sangat bergantung pada konteks saat pembicaraan. Seperti yang dikatakan Clark (2009: 13):
       “Language and especially its vocabulary (the lexicon), is not static. Speakers coin new words as society changes and adds new inventions and new technologies. But its new word is accepted only if its meaning  contrast with the meaning of existing words. Conventionality  and contrast are powerful pragmatic principles governing language use”.
Kesukaran arti dalam makna pragmatik sangat bergantung pada konteks tempat percakapan itu dilakukan. Lain halnya jika arti yang ingin kita sampaikan, namun lawan tutur tidak mengerti, itu karena konteks.
Untuk berkomukasi secara luas, anak-anak harus mampu membuat makna pembicaraan mereka sendiri dengan jelas dan mampu menafsirkan maksud atau makna pembicaraan dari orang lain (Clark, 2009: 132). Anak-anak harus mampu mengembangkan kedua keahlian dalam kegiatan komunikasi sehari-hari, antara linguistik dan nonlinguistik. Sekitar umur sepuluh sampai dua belas bulan, anak-anak sudah mulai memaknai kata-kata mereka dari bentuk kata permintaan dan tuntutan. Mereka mengandalkan nonlinguistik skill atau bahasa tubuh dalam meminta, dan menginginkan sesuatu seperti boneka, buku, kue dll (Bates via Clark, 2009: 132).
a.   Dua prinsip umum dalam kajian pragmatik
Menurut Clark (2009: 133), pemakai bahasa mengamati dua prinsip dalam pragmatik, yang pertama, mereka mengamati sistim bahasa yang mereka gunakan secara biasa dan umum atau conventionality. Arti yang secara dengan umum ini biasa digunakan dalam bentuk penyampaian pertanyaan atau jawaban, dalam artian ekspresi yang lazim digunakan. Conventionality is for certain meanings, speakers assume that there is a conventional form that should be used in the language community (Clark, 2009: 133).
Kedua, pemakai bahasa mengamati sistem bahasa yang mereka gunakan dengan cara membandingkan (contrast). Menurut Clark (2009: 133), contrast is speakers assume that any difference in form signals a difference in meaning. Jadi antara conventionality dan contrast terdapat perbedaan dalam memaknai makna yang diucapkan penutur.
C.  KESIMPULAN
Proses pemerolehan bahasa pertama adalah proses dimana bayi memperoleh baik produksi bunyi tuturan maupun pemahaman terhadap bunyi tuturan yang dalam hal ini didukung oleh terintergrasinya antara dimensi sosial dan kognitif. Anak-anak bahkan masih janinpun sudah meperoleh bunyi. Orang yang mempunyai kendala dalam meproduksi bunyi tuturan juga dapat mengembangkan kemampuannya dalam hal pemahaman bahasa selama pendengaran dan kecerdasan dasarnya utuh. Proses produksi ujaran mulai dari bunyi awal sampai kepada pengucapan dua kata atau lebih, melalui proses yang panjang. Peran orang tua sebagai orang terdekat anak-anak sangat berpengaruh terhadap proses pemerolehan produksi bahasa anak-anak. Selain orang tua, orang dewasa lainnya juga mengambil peran penting dalam pembentukan bahasa anak yang baik dan benar.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kajian selanjutnya mengenai pemerolehan bahasa pertama, untuk orang tua sebagai model pembelajaran bahasa bagi anak-anak, dan bagi anak-anak untuk dapat memperoleh bahasa dengan baik dan benar. Hal yang paling penting adalah bagaimana orang tua untuk selalu memilih bahasa yang mudah dipahami anak-anak dan selalu mengerti akan kebutuhan bahasa anak-anak.





Daftar Pustaka
Chomsky, Noam. 1972. Language and Mind. Cambridge. The M.J.T. Press.
Clark, V. Eve. 2009. First Language Acquisiton. New York : Cambridge University Press.
Davies, Alan dan Elder, Chaterine. 2004. Applied Linguistics. Oxford University Press.
Goodluck, Helen. 1991. Language Acquisition. Bodmin. Hartnolls Ltd.
Krashen, D. Stephen. 2009. Principles and Practice in Second Language Acquisition. California. Pergamon Press Inc.
Levey, Sandra Dan Polirstok, Susan. 2011. Language Development. Los Angeles. SAGE Publication, Inc.
Saxton, Matthew. 2010. Child Language. Chennai. C & M Digital (P) Ltd.
Steinberg, D. Danny. dan Sciarini V. Natalia. 2006. An Introduction to Psycholingisitcs. United Kingdom. Pearson Education Limited
Stephany, Ursula. dan Voeikona, D. Maria. 2009. Development of Nominal Inlection in First Langauge Acquisition. Berlin. Walter de Gruyter GmbH & Co. KG.

Ullmann, Stephen. 1977. Semantic, an Introduction to the Science of Meaning. Oxford University Press.