TEORI
PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA
Oleh : Robinson
Mahasiswa Linguistik Terapan
Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
2015
A. PENDAHULUAN
1. Pertanyaan
Kajian
a.
Apakah
pengertian pemerolehan bahasa itu?
b.
Apakah
teori pemerolehan bahasa itu?
c.
Apa
konsep-konsep pemerolehan bahasa pertama?
d.
Apa
perbedaan pemerolehan dan pembelajaran?
e.
Bagaimana
anak memproduksi ujaran atau wicara dan bagaimana urutannya?
f.
Bagaimana
anak memahami ujaran dan bagaimana urutannya?
g.
Bagaimana
pemerolehan bahasa pertama dari aspek fonologi?
h.
Bagaimana
pemerolehan bahasa pertama dari aspek sintaksis?
i.
Bagaimana
pemerolehan bahasa pertama dari aspek semantik?
j.
Bagaimana
pemerolehan bahasa pertama dari aspek pragmatik?
2. Outline
Kajian
a.
Teori
Pemerolehan Bahasa Pertama
1) Hakikat Pemerolehan Bahasa Pertama
2) Pengertian Pemerolehan Bahasa
3) Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa
4) Konsep Pemerolehan Bahasa Pertama
1.
Pokok-pokok
Pemerolehan Bahasa
2.
Imitasi
dan Input Korektif
b.
Pemerolehan
Produksi Wicara
1) Tahap Ocehan
a) Bahasa Orang Tua
b) Bahasa Bayi (Baby talk)
c) Dari Vokalisasi ke Ocehan
d) Dari Ocehan ke Tuturan
2) Tahap Wicara Awal
a) Naming : Tuturan Satu Kata
b) Holofrastis : Tuturan Satu Kata
c) Ujaran Telegrafis : Tuturan Dua Kata
d) Pemerolehan Morfem
c.
Pemerolehan
Komprehensi Ujaran
1) Tahap Input Janin
2) Pemahaman Tanpa Wicara
d.
Pemerolehan
Bahasa Pertama dari Aspek Fonologi
e.
Pemerolehan
Bahasa Pertama dari Aspek Sintaksis
f.
Pemerolehan
Bahasa Pertama dari Aspek Pragmatik
g.
Pemerolehan
Bahasa Pertama dari Aspek Semantik
B. PEMBAHASAN
1. Teori
Pemerolehan Bahasa Pertama
a.
Hakikat
Pemerolehan Bahasa Pertama
Menurut Clark (2009: 1),
bahasa merupakan hal yang manusiawi. Kita menggunakan bahasa setiap hari
sebagai sarana komunikasi dan bahasa tertulis memungkinkan kita untuk mampu
merekam sejarah dari generasi ke generasi. Bahasa itu sendiri sangat kompleks
karena memiliki sistem suara yang memungkinkan kita untuk menggunakan berbagai
macam bahasa yang berbeda-beda, dengan kosa kata sekitar 50.000 sampai 100.000
istilah yang dipakai oleh orang dewasa, serta serangkaian konstruksi yang
berhubungan kata-kata tersebut. Hal ini
memungkinkan kita untuk mengekspresikan ide-ide yang tidak terhitung banyaknya,
menggambarkan peristiwa, bercerita, membaca puisi, membeli, menjual,
tawar-menawar di pasar, mengelola sistem hukum, membuat pidato politik, dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan lain yang dalam
lingkungan masyarakat. Ini semua
adalah bagian integral dari sehari-hari yang kita andalkan untuk menyampaikan
keinginan dan kebutuhan, pikiran, kekhawatiran, dan rencana. Menggunakan bahasa
tampaknya sejalan dengan bernafas atau berjalan.
Anak-anak
yang lahir akan memperoleh bahasa. Dalam mendapatkannya mereka akan menghadapai
hal-hal yang sangat rumit karena bahasa sangat kompleks. Belajar bahasa tidak
seperti belajar menyimpan sepatu. Hal ini jelas bahwa bahasa menuntut yang
lebih banyak. Bukan
hanya sistem suara, kosakata, sintaksis dan struktur kata. Struktur hanyalah
sebagian yang harus dipelajari dan sebagian lainnya adalah fungsi dari setiap
elemen bahasa itu sendiri (Clark, 2009: 2).
b. Pengertian Pemerolehan Bahasa
Menurut
Clark (2009: 1), pemerolehan bahasa adalah proses dimana anak memperoleh bahasa
pertamanya yaitu dengan memahami, dan menghasilkan suara, kata-kata, dan
kalimat, karena mereka harus memahami dan menggunakan bahasa untuk bekerja sama
dan mencapai tujuan. Pengertian lain dari pemerolehan bahasa adalah proses anak yang mulai mengenal komunikasi dengan
lingkungannya secara verbal. Pemerolehan bahasa pertama terjadi bila anak yang
sejak semula tanpa bahasa kini telah mampu mengucapkan satu bahasa. Menurut
Steinberg dan Sciarini (2006: 3), anak-anak dapat dikatakan telah belajar
bahasa pertamanya ketika mereka mampu mengucapkan bentuk ucapan yang dapat
dikenal dan itu dilakukan bersamaan dengan beberapa objek atau peristiwa pada
situasi tertentu.
Dibawah ini
beberapa teori pemerolehan bahasa :
1) Teori Environmental
Teori environmental
menyatakan bahwa lingkungan beperan penting dalam penyediaan informasi yang
mendukung anak-anak mengembangkan bahasanya (Skinner via Levey dan Polirstok,
2011: 18). Pengalaman lingkugan dalam hal ini adalah interaksi anak-anak dengan
berbagai individu, objek, dan peristiwa yang mendukung kesempatan mereka untuk
belajar bahasa dan simbol (kosakata) yang berbaur dengan objek dan peristiwa
tersebut.
2) Teori Innate
Teori Innate
berpendapat bahwa pengaruh bawaan anak-anak sejak lahir memperlengkapi dasar mereka
dalam pengembangan bahasanya (Chomsky via Levey dan Polirstok, 2011: 19). Mekanisme innate
ini terkenal dengan istilah Language
Acquistion Device (LAD), sebuah perangkat yang mempersiapkan atau memfasilitasi
anak-anak untuk memproses perolehan bahasanya pada lingkungan tertentu. LAD ini
mempunyai fungsi yang sangat banyak untuk medukung proses pemerolehan bahasanya
diantaranya memfasilitasi anak untuk menganalisis kalimat yang didengarnya dan
menggunakan analisis ini untuk memproduksi kalimat yang gramatikal.
3) Teori Emergentism
Teori emergentism
berpendapat bahwa keterampilan dari bawaan (innate)
dan pengalaman lingkungan (environmental)
bersama-sama menjadi faktor penting untuk pengembangan bahasa anak (Karmiloff
via Levey dan Polirstok, 2011: 19). Lebih lanjut dijelaskan bahwa gen dan
interaksi lingkungan yang menentukan hasil dalam perkembangan kognitif dan
bahasa anak. Hal ini menolak teori yang mengatakan bahwa kecerdasan bawaan dan
kontkes interaksi berjalan sendiri untuk bertanggung jawab atas perkembangan
bahasa anak. Singkatnya, kaum emergentism
berpendapat bahwa bahasa dikembangkan dari interaksi antara struktur kognitif
anak-anak dengan lingkungannya.
c.
Pemerolehan
dan Pembelajaran Bahasa
Pemerolehan bahasa
merupakan proses bawa sadar; bahasa diperoleh tanpa disadari bahwa kita sedang
memperoleh bahasa tersebut, namun kita hanya menyadari bahwa kita sementara
menggunakan bahasa tersebut untuk berkomunikasi (Krashen, 2009: 10). Hasil
dari pemerolehan bahasa yaitu dengan memperoleh kompetensi, yang hal ini juga kita
tidak menyadarinya. Kita hanya sadar pada aturan-aturan bahasa tersebut.
Hal yang kedua yakni
pebelajaran bahasa. Menurut Krashen (2009: 10), pembelajaran bahasa adalah
memperoleh atau mengetahui secara sadar akan bahasa kedua, mengetahui aturan-aturannya,
dan mampu untuk menggunakannya dalam percakapan. Istilah lain dari pembelajaran
adalah pengetahuan bahasa secara formal. Jadi
pemerolehan dan pembelajaran bahasa merupakan dua proses yang berbeda
dalam memperoleh bahasa. Pemerolehan bahasa didapatkan tanpa disadari dan
pembelajaran bahasa didapatkan/dipelajari dengan sengaja dan disadari.
d. Konsep Pemerolehan Bahasa Pertama
Bayi yang
lahir tidak serta merta berbicara (Clark, 2009: 1). Mereka harus belajar bahasa
sejak setelah dilahirkan. Apa yang mereka pelajari? Mereka memerlukan bunyi dan
kata-kata yang mempunyai arti. Mereka harus mengerti bahasa apa yang dipakai,
kapan, dan dimana digunakan.
1) Pokok-pokok pemerolehan
bahasa sebagai berikut :
a) Tabula
Rasa
Timbul perdebatan antara
istilah nuture (anak lahir dilengkapi
dengan struktur dan kapasitas bawaan tanpa campur tangan lingkungan) dan nurture (apa yang mereka peroleh dari
pengalaman). Apakah anak lahir dengan istilah “tabula rasa” atau datang dengan serangkaian bawaan? Namun ahli
biologi umumnya berpendapat bahwa dikotomi ini tidaklah benar. Perkembangan
janin sampai dewasa ditentukan oleh kesehatan dan gisi ibunya, sehingga untuk
membedakan nuture dan nurture sedikit mustahil (Clark, 2009:
2).
b) Pembedaan Bahasa
Dalam
pemerolehan bahasa, terdapat beberapa pembedaan diantaranya; penggabungan
beberapa suara yang digunakan seperti memungkinkan penggunaan sebuah konsonan
untuk memulai satu suku kata (top) dan juga penggabungann konsonan (stop, trip); penggabungan huruf vokal dalam sebuah suku kata (heat vs height). Pembedaan
selanjutnya adalah pembagian dalam kelas-kelas kata seperti kata benda, kata
kerja, kata sifat, kata keterangan dan preposisi (Clark, 2009: 3). Bahasa juga dibedakan
dari aspek tujuan gramatikal (subject, predikat, dan objek) atau secara
pragmatik (pengidentifikasian informasi yang diberikan)
c) Kompleksitas
untuk pembelajaran
Bahasa juga dibedakan dalam bentuk mudah atau
sulitnya dalam mempelajari bahasa tersebut (Clark, 2009: 4). Tentu tingkat
kesulitan yang bervariasi ini akan memudahkan anak-anak untuk mempelajari
tingkat kesulitan yang agak rendah, selanjutnya waktu demi waktu belajar yang
lebih sulit lagi seiring dengan perkembangan anak tersebut. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap penguasaan
bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua dari pada dalam
dalam pemerolehan bahasa pertama.
d) Dimensi Sosial
Ketika orang dewasa berbicara
terhadap anak-anak, mereka secara langsung atau tidak langsung menawarkan
informasi yang luas tentang bahasa mereka terhadap anak-anak (Clark, 2009: 5).
Dalam percakapan orang dewasa dan anak-anak, orang dewasa menginginkan
anak-anak bisa merespon permintaannya sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya.
Dalam rangkaian pembelajaran percakapan, orang dewasa menggunakan tindakan dan
objek yang umum. Dalam hal ini orang dewasa menggunakan kata-kata atau objek
yang ada di sekitar anak-anak.
Memahami banyak elemen sebuah
bahasa tidak menjamin seseorang untuk menafsirkan ucapan-ucapan secara tepat.
Kita harus memahami penggunaan bahasa secara konvensional. Contoh dalam bahasa
Inggris ”Can you open the door?”, apakah pertanyaan
tersebut menanyakan tentang kemampuan (can)
atau permintaan kepada seseorang untuk membuka pintu, konteks ini tergantung
dari bagaimana lawan bicara memahami pertanyaan tersebut (Clark, 2009: 6).
Dalam hal ini, pemahaman mengenai apa yang diharapakan penutur, tergantung
kebiasaan umum dari ujaran komunitas tersebut. Jadi tergantung dari hubungan antara
penutur dan lawan bicaranya.
e) Dimensi kognitif
Apa
yang anak-anak tahu sampai pada usia satu tahun? Mereka sudah bisa
mengindetifikasi objek dan tahu dimana mereka menyimpannya, dan mampu menguraikan hal-hal di sekitarnya
(Clark, 2009: 7). Mereka mampu mengatur gambaran mengenai apa yang mereka lihat
dan tahu. Mereka mempergunakan semua itu sebagai ingatan mereka, pertama
dipakai dalam gerak tubuh dan sikapnya, selanjutnya dalam kata-katanya (Piaget
via Clark, 2009: 7).
Pengaturan
konsep awal juga menjadi petunjuk bagaimana anak-anak kuat dalam mempelajari
bahasa. Mereka harus mampu menggunakan pengalaman sebelumnya untuk mengenali
kapan objek atau peristiwa muncul kembali. Mereka harus mengatur gambaran
mengenai apa yang mereka lihat, dengar, rabah, dan rasakan sehingga mereka
dapat mengenali hal-hal yang muncul
kembali (Clark, 2009: 8). Tanpa gambaran-gambaran tersebut dalam memorinya,
mereka akan sulit untuk mengatur pengalamannya.
2) Imitasi dan
Input Korektif
a) Imitasi
Imitasi menurut Steinberg dan Sciarini
(2006: 30), adalah peniruan dan pengulangan ucapan anak terhadap apa yang
didengarnya. Hal senada juga dikemukakan oleh Saxton (2010: 88), bahwa imitasi adalah
bentuk ktiris dari interaksi perkembangan bahasa baik dalam bentuk verbal
maupun non-verbal. Hampir semua orang percaya bahwa bahasa diperoleh dari hasil
imitasi. Melalui imitasi anak-anak belajar bagaimana mengucapkan bunyi atau
kata yang menyerupai suara yang mereka dengar.
Pihak yang paling berperan
dalam hal ini adalah orang tua. Saxton (2010: 89) mengatakan bahwa anak-anak
belajar bahasa melalui peniruan terhadap orang tuanya. Bahkan lebih lanjut
Saxton (2010: 89) menekankan bahwa “surprisingly,
though, researchers have largely ignored imitation as a serious faktor in child
language acquisition”. Imitasi merupakan faktor yang kuat dalam pemerolehan
bahasa anak-anak.
Pandangan Skinner (via Saxton,
2010: 90) yang terkenal dengan behavioristiknya, dengan istilah “operant conditioning”, adalah setiap
kali anak bertutur yang sesuai dengan kata yang benar maka akan diberikan
pujian oleh orang tuanya. Sebaliknya hukuman diberikan ketika pengucapan anak
tersebut jauh dari apa yang diharapkan. Behaviorist menekankan pada aspek
lingkungan dan situasi yang berpengaruh terhadap pemerolehan bahasa anak. Kemampuan berbicara dan memahami
bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari lingkungannya dan anak
dianggap sebagai penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak memiliki
peranan yang aktif didalam proses perkembangan perilaku verbalnya. Skinner sangat sedikit menyinggung tentang
imitasi. Namun dengan contoh-contoh yang diberikan itulah yang kebanyakan orang
sebut sebagai imitasi menurut Skinner.
Lain halnya dengan Chomsky (via
Saxton, 2010: 90), yang menegaskan bahwa anak-anak mendapatkan sikap verbal dan
non-verbalnya melalui observasi yang tak disengaja/ secara kebetulan dan
imitasi terhadap orang dewasa dan anak-anak yang lain. Pada dasarnya Chomsky
berpendapat bahwa secara keseluruhan fungsi imitasi dalam pemerolehan bahasa
hanya sedikit kontribusinya. Hal ini diebabkan oleh orang yang akan ditiru
dalam hal ini orang dewasa sangat kurang dalam memberikan model. Jadi
lingkungan tidak terlalu berpengaruh terhadap perilaku berbahasa karena
sejatinya bahasa merupakan bawaan genetik. Oleh karena itu, imitasi mempunyai keterbatasan dalam hal pemerolehan
pemahaman bahasa anak-anak. Imitasi hanya berfungsi untuk pemerolehan produksi
bahasa anak-anak. Hal ini tidak berarti bahwa imitasi tidak penting, tapi
memang hanya terbatas untuk pengembangan artikulasi bunyi untuk anak-anak.
b. Input
Korektif
Ciri
khas dari pemerolehan bahasa anak adalah banyaknya ungkapan yang salah. Hal ini
akan membuat orang dewasa yang mendengarnya merasa perlu untuk memberi
penjelasan. Salah satu penjelasan yang biasa dilakukan adalah dengan mengoreksi
pembicaraan anak tersebut. Saxton (2010: 95) mengungkapkan bahwa the main function of recasts is to maintain
the flow of conversation with a partner who is cognitively immature. Jadi
hal ini dipraktekkan dengan mengulangi beberapa atau semua perkataan anak yang
salah menjadi susunan kata yang benar secara gramatikal. Dibawah ini contoh
ungakapan input korektif dari Brown (via Saxton, 2010: 94-95):
Eve : Eve
get big stool
Mother : No,
that’s the little stool.
Eve : Milk
is there.
Mother :
There is milk in there
Eve : Turn
after sarah.
Mother : You
have a turn after sarah.
Banyak orang beranggapan bahwa pengoreksian
terahadap anak-anak yang mengucapkan kata atau kalimat yang salah secara
gramatikal akan menghasilkan perbaikan. Tetapi dalam bukunya, Steinberg dan
Sciarni (2006: 32) tidak menghendaki koreksi kesalahan pada ujaran anak-anak
secara gramatikal. Dijelaskan bahwa
ketika orang tua berusaha untuk selalu mengoreksi ucapan anaknya, maka hasilnya
sering sia-sia dan bahkan anak-anak bisa frustrasi. Ada beberapa alasan mengapa
koreksi tidak efektif, diantaranya anak-anak harus :
(1) Memahami perbedaan antara
ujarannya dengan ujaran orang tuanya.
(2) Menentukan apa dasar dari
kesalahannya.
(3) Menetapkan apa-apa yang harus
dirubah supaya ujarannya sesuai
dengan harapan orang tuanya.
Hal ini
hanya akan menjadi beban bagi anak dan akan merasa kesulitan untuk berkembang
karena selalu dihantui dengan cacian ketika berujar yang salah.
2.
Pemerolehan Produksi Wicara
a.
Tahap
Ocehan
1) Bahasa Orang Tua
Bahasa orang tua atau parentese
adalah jenis ujaran yang didapatkan oleh anak-anak pada waktu mereka masih
kanak-kanak (Steinberg dan Sciarini,
2006: 27). Parentese juga
merujuk pada istilah motherese, caregiver speech, Adult-to-Child
Language (ACL) (Reich via Steinberg
dan Sciarini, 2006: 27) dan
Child-Directed Speech (CDS) (Pine, via Steinberg dan Sciarini, 2006:
27). Berdasarkan istilah-istilah
diatas dapat disimpulkan bahwa anak-anak mendapatkan input bahas dari banyak
sumber; ayah, ibu, saudara kandung, kerabat, dan teman. Jadi bahasa orang tua, dalam
hal ini tidak merujuk hanya pada orang tua kandung anak-anak, tetapi orang tua
dalam arti luas atau orang dewasa yang menjalin komunikasi dengan anak-anak.
Ujaran yang digunakan orang tua dan orang dewasa lainnya terhadap
anak-anak mempunyai karakteristik tersendiri, dan jelas akan membantu anak-anak
dalam belajar bahasa (Steinberg dan Sciarini, 2006: 27). Dalam hal ini
ujaran tersebut tidak digunakan untuk percakapan antara orang dewasa.
Pada umumnya tuturan secara
langsung terhadap anak-anak sangat gramatikal dan mudah terhapami, walaupun
terkadang juga muncul tuturan yang tidak benar secara gramatikal tetapi jarang
(Steinberg dan Sciarini, 2006: 28). Sebagai contoh studi dalam waktu yang lama
dilakukan oleh Newport (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 28), memberikan bukti
bahwa dari 15 ibu, terdapat hanya 1 tuturan yang salah secara gramatikal dari
1500 tuturan. Hal ini akan sangat membantu anak-anak untuk memperoleh
ucapan-ucapan yang benar secara gramatikal ketika berbicara dengan orang tua. Adapun
kalimat yang dipakai oleh orang tua ketika berbicara terhadap anak-anak
cenderung pendek dan sederhana. Contohnya kalimat “the dog wants water” bukannya kalimat “the dog which has been running a lot wants to drink a some woter”
(Steinberg dan Sciarini, 2006: 28).
Kosakata yang digunakan oleh
orang dewasa untuk berbicara terhadap anak-anak, sederhana dan terbatas
(Phillips via Steinberg dan Sciarini, 2006: 28). Orang tua selalu memilih
kosakata yang mudah dipahami oleh anak-anak. Orang tua akan memilih struktur
fonologi yang sederhana, contoh; kata “see”
bukan “notice”, “hard” bukan “difficult”
(Ferguson via Steinberg dan Sciarini, 2006: 28). Contoh yang lain seperti kata
konsonan tambah vokal; “mama”, “wawa”,
dan “byebye” yang digunakan, bukan “mother’, “water’ dan ‘goodbye’.
Dari aspek intonasi, nada, dan
tekanan kata dalam berbicara terhadap anak-anak, Drach (via Steinberg dan
Sciarini, 2006: 28) mengatakan bahwa orang dewasa cenderung memperbesar
intonasi pembicaraanya. Selain memperbesar intonasi, juga menggunakan nada
tinggi, tuturan yang agak lambat, dan sering megulangi pembicaraannya.
Hal yang menarik dari aspek
anak-anak yang berusia sekitar empat tahun, cenderung bisa menyesuaikan ketika
berbicara dengan orang dewasa dan anak dengan usia sekitar dua tahun. Shatz and Gelman (via Steinberg
dan Sciarini, 2006: 28) mengatakan bahwa anak dengan usia empat tahun memakai
tuturan sederhana ketika berbicara dengan anak-anak usia dua tahun, tetapi
tidak demikian ketika berbicara terhadap orang dewasa, meskipun anak tersebut
tidak mempunyai saudara kandung.
2) Bahasa Bayi (Baby Talk)
Bahasa bayi atau baby talk dibentuk dari parentese
namun dengan karakteristiknya sendiri (Steinberg
dan Sciarini, 2006: 29). Bagaimanapun juga, orang tua adalah orang yang paling
dekat dan sering berbicara dengan bayinya. Lanjut Steinberg dan Sciarini (2006:
29) menjelaskan bahwa kosakata bahasa bayi merupakan kosakata yang banyak
dimodifikasi. Namun kosakata tersebut merupakan kosakata yang standar karena
bahasa bahasa bayi dipelajari oleh orang tuanya terhadap orang dewasa lainnya.
Struktur
bunyi utama bahasa bayi cenderung didominasi oleh unit silabel konsonan vokal
yang sering diulangi (Steinberg dan Sciarini, 2006: 29). Contohnya, dalam
bahasa Inggris “bow-bow” (anjing), “pee-pee” (kencing), dalam bahasa Jepang
“wan-wan” (anjing/inu), “shee-shee” (kencing/nyoli),
dan “bu-bu” (mobil/jidhosa). Dasar konstruksi bahasa bayi
yang lain adalah pembetukan atau pengucapan sebuah kata yang menirukan bunyi
dari benda tersebut (Steinberg dan Sciarini, 2006: 29). Contoh dalam bahasa
Inggris “bow-bow” dan dalam bahasa
Jepang ‘wan-wan” menirukan suara anjing
pada saat menggonggong.
Dari aspek
sintaksis, ciri umum dalam bahasa bayi adalah penggantian kata ganti menjadi
nama orang yang dalam hal ini tidak biasanya didapatkan dalam percakapan antar
orang dewasa (Steinberg dan Sciarini, 2006: 30). Sebagai contoh, seorang ibu
mengakatan kepada anaknya, Tony, “Mommy
give Tony banana”. Dalam ungkapan tersebut tidak terdapat kata modal “wiil” dan artikel “a”. Mommy dan
Tony menggantikan kata ganti “I” dan
“you” untuk lebih menyederhanakan
ungkapan tersebut.
3) Vokalisasi ke Ocehan
Menurut Lenneberg (via Steinberg dan Sciarini, 2006:
3), dimana-mana pada waktu anak-anak lahir, meskipun tuli, mereka megeluarkan
bunyi yang relatif sama. Lebih lanjut
Steinberg dan Sciarini (2006: 3) mengungkapkan bahwa sebelum balita
mengoceh, mereka mengeluarkan bunyi seperti menangis, mendengkur, dan mendeguk.
Kemampuannya mengucapkan bunyi tersebut, muncul tanpa dipelajari. Pada usia
sekitar tujuh bulan, bayi mulai mengoceh. Ocehan-ocehan tersebut seperti
pengulangan silabel (baba, momo dan pan-pan). Namun sesungguhnya ocehan yang
dikeluarkan oleh bayi sudah dipengaruhi oleh bahasa dimana mereka berada. Produksi
ocehan bayi yang menggunakan intonasi tertentu adalah fenomena pembelajaran.
Dari sejak usia enam bulan, bayi dari berbagai macam bahasa yang berbeda mulai
mengoceh dengan sedikit jelas, dengan menggunakan intonasi bahasa dimana mereka
diarahkan (Nakazima via Steinberg dan Sciarini, 2006: 4).
4) Ocehan ke Tuturan
Dari
suara ocehan sampai kepada seorang bayi berhasil mengucapkan kata yang
bermakna, itu terjadi sekitar usia satu tahun. Namun bisa saja terjadi pada
bayi sebelum satu tahun atau bahkan lewat satu tahun. Ucapan-ucapan bayi
tersebut hanya sedikit yang merupakan hasil bawaan dari ocehan. Kebanyakan akan
didapatkan ulang. Hal menjadi perdebatan karena terdapat beberapa studi yang
menunjukkan hubungan antara ocehan dengan ucapan yang bermakna. Kent
and Bauer (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 5), mengungkapkan bahwa ocehan
menjadi pendekatan terhadap konsonan dan vowel yang hasilnya adalah kata yang
bermakna. Tetapi hal tersebut dibantah oleh Jesperson (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 5) yang membedakan
antara vokalisasi intensional dan non-intensional. Ocehan merupakan vokalisasi
yang non-itensional dimana ungkapan yang keluar secara spontan dan tidak
disertai dengan kontrol kognitif. Sementara tuturan yang bermakna adalah
tuturan yang disertai dengan kontrol kognitif dimana anak-anak tidak serta
merta berbicara namun sesuai dengan objek atau persitiwa yang terjadi.
b. Tahap Wicara Awal
1) Naming
: Tuturan Satu Kata
Penamaan atau naming
dalam bahasa Inggris, yaitu ketika anak mengenal sebuah kata dan mengucapkannya
pada waktu dan tempat yang tepat. Ketika seorang anak mengucapkan sebuah kata
seperti “mama”, maka boleh jadi dan boleh juga tidak itu merupakan sebuah
pengetahuan anak terhadap sebuah kata. Menurut Steinberg dan Sciarini (2006:
3), anak-anak dapat dikatakan telah belajar bahasa pertamanya ketika:
a) Mereka mampu
mengucapkan bentuk ucapan yang dapat dikenal.
b) Ketika itu
dilakukan bersamaan dengan beberapa objek atau peristiwa di situasi tertentu.
Ucapan-ucapan
tersebut tidak sempurna misalnya “da”
untuk “daddy” dan bisa saja
pengertiannya tidak benar seperti menggunakan kata “da” untuk semua orang. Sejauh seorang anak mengucapkan kata yang
dapat dipahami, maka dapat dikatakan bahwa anak tersebut telah memahami sebuah
kata yang bermakna. Hal ini terjadi pada usia anak dari enam sampai delapan
belas bula atau lebih.
2) Holofrasis : Tuturan Satu Kata
Anak-anak
tidak hanya menggunakan kata tunggal untuk merepresentasikan objek tertentu,
tetapi juga menggunakannya untuk mengekspresikan pemikiran yang kompleks
termasuk objek-objek (Steinberg dan Sciarini, 2006: 7). Contoh yang lain ketika
anak tersebut menunjuk sebuah mainan dan mengatakan “mama”, mengindikasikan
anak tersebut ingin dibelikan sepatu. Anak-anak dapat mengekspresikan berbagai
macam fungsi semantik ide yang kompleks dengan menggunakan satu kata (Bloom via
Steinberg dan Sciarini, 2006: 7). Sebenarnya tidak mudah untuk memahami
ungkapan anak-anak, selain kita harus memahami latar belakang anak tersebut,
pengalaman-pengalaman sebelumnya, kita juga harus mengetahui hal-hal yang
berhubungan dengannya untuk membantu kita memahami ucapan-ucapannya.
3) Ujaran Telegrafis: Tuturan Dua Kata
Pada
usia sekitar dua tahun, anak-anak sudah mulai mengucapkan dua atau tiga kata
dalam sebuah ucapan (Steinberg dan Sciarini, 2006: 8).
Mereka mulai menghasilkan ujaran kata-ganda (multiple-word utterances) atau disebut juga ujaran
telegrafis. Namun
demikian mereka tidak secara cepat mengucapkan dua kata dengan makna tertentu
seperti hanya dengan menambahkan kata yang telah diketahui sebelumnya. Dari
tuturan dua kata ini, terdapat tuturan-tuturan yang maknanya lebih dari kata
tersebut namun mampu dipahami.
4) Pemerolehan Morfem
Menurut Steinberg dan Sciarini
(2006: 10), morfem merupakan sebuah akar kata atau bagian dari kata yang
mengandung makna. Seperti kata
‘elephants’ terdiri dari dua
morfem, ‘elephant’ dan jamak (s). Ketika anak-anak sudah bisa mengucapkan dua
atau tiga kata, maka mereka sudah bisa mengeksplorasi sesuatu makna. Mereka
sudah bisa mengucapkan kata-kata fungsional seperti preposisi (dalam bahasa
Inggris in dan on), kata modal (can dan will), kata bantu (do, be, dan have) yang
disebut pemerolehan morfem.
3. Pemerolehan
Komprehensi Ujaran
a.
Tahap
Input Janin
Berbaga
hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli dalam hal membuktikan bahwa
apakah pendengaran telah terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan ibunya,
diantaranya :
1) Benzaquen (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 20) menemukan bahwa bunyi tuturan ibu mampu
ditangkap oleh telinga janin atas dasar bunyi dari denyut jantung dan aliran
darah ibu tersebut.
2) Lecanuet (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 20) menemukan adanya reaksi jantung janin ketika sebuah pengeras
suara diletakkan di samping ibu yang sedang hamil.
3) Locke (via Steinberg dan Sciarini, 2006: 21) mengatakan bahwa bayi belajar bahasa
ibunya, bukan pada saat sebelum lahir, tetapi pada waktu lahir sampai 12 jam
setelah kelahirannya ketika ibunya berbicara terhadap anaknya yang baru lahir.
Steinberg
dan Sciarini (2006: 21) mengambil kesimpulan bahwa jika janin dapat menangkap
suara dari dunia luar, maka itu akan melalui jalur cair dalam kantong janin.
Sebagai contoh seorang yang berada dalam air di sebuah kolam renang, maka
terdapat bunyi umum yang didengar, tetapi cukup sulit untuk membedakan
macam-macam bunyi yang didengar itu (Steinberg dan Sciarini, 2006: 21). Dari
berbagai macam hasil penelitian di atas maka bisa dikatakan bahwa telinga janin
dapat menangkap bunyi dari aliran darah, denyut jantung ibunya, melalui jalur
cair dalam kantong janin.
b.
Pemahaman
Tanpa Wicara
Ketika
kemampuan untuk mengeluarkan tuturan yang sesuai dengan penempatan yang tepat
menjadi indikator baik untuk pengetahuan akan bahasa, maka ketidakmampuan dalam menghasilkan tuturan
bukanlah indikasi kurangnya pengetahuan dalam memahami bahasa (Steinberg dan Sciarini, 2006: 21).
Berikut merupakan beberapa contoh fenomena orang-orang yang mempunyai
keterbatasan dalam berbicara namun mampu memahami bahasa dengan baik :
1) Christoper Nolan adalah seorang yang
mengalami kerusakan otak dan tidak bisa megeluarkan suara. Meskipun otaknya
rusak, tetapi kecerdasan dan pendengarannya tidak terpengaruh. Oleh karena dia belajar maka Nolan mampu
menulis buku yang isinya puisi dan cerpen yang terkenal (Steinberg dan Sciarini 2006: 21-22).
2) Anne
McDonald mengalami hal serupa dengan Nolan. Dia juga mengalami gangguan pada
pada produksi suaranya dan harus menggunakan perangkat komputer untuk yang
diletakkan di pangkuannya untuk mengeluarkan rekaman pesan. Meskipun cacat,
perempuan ini termotivasi untuk belajar filsafat ilmu dan seni. Hasilnya adalah
dia berhasil menerbitkan buku dan terus menulis dengan perangkat cetak (Steinberg dan Sciarini 2006: 22).
3) Rie, seorang gadis kecil dari Jepang,
bisu sejak lahir, kecuali mengucapkan kata /i/ dan /a/, yang diucapkan secara
pelan dan berbisik. Pada saat dites untuk memahami tuturan (usia 3 tahun),
perempuan tersebut meresponnya dengan
baik meskipun perintah-perintah yang kompleks (Steinberg dan Sciarini 2006: 22).
Orang yang bisu tetapi
pendengarannya baik, maka orang tersebut mampu mengembangkan kemampuannya untuk
memahami tuturan meskipun tidak mampu menghasilkan ujaran, selama kecerdasan
dasarnya utuh (Steinberg dan Sciarini
2006: 22). Orang bisu juga bisa mengembangkan tata bahasa, yaitu tata bahasa
mental yang didasarkan pada pemahaman ujaran, yang memungkinkan mereka memahami
ujaran yang mereka dengar. Jadi intinya adalah ketika kecerdasan dasar dan
pendengaran seseorang baik, maka mereka mampu memahami ujaran meskipun tidak
dapat mengeluarkan ujaran tersebut.
4.
Pemerolehan
Fonologi
Fonologi berhubungan dengan
aturan yang mengatur pengucapan kata, frase,
dan kalimat (Goodluck, 1991: 6). Sementara Saxton (2010: 4) mengakatakan bahwa
fonologi berkonsentrasi pada bunyi tuturan. Jadi fonologi merupakan bagian dari
bahasa yang berkonsetrasi pada bunyi yang diucapkan penuturnya. Fonologi
terbagi lagi menjadi fonetik dan fonologi itu sendiri. Menurut Goodluck (2010:
11), fonetik berkonsentrasi pada bunyi tuturan yang diproduksi dan dirasakan
serta unsur akustiknya, sementara fonetik berkonsentrasi pada bagaimana bunyi
digunakan sebagai pembeda makna dan perannya mengatur distribusi bunyi.
Pemerolehan bahasa dari aspek fonologis meliputi kemampuan anak menghasilkan
bunyi-bunyi bahasa yang berupa vokal dan konsonan namun bunyi tersebut belum
sempurna.
a. Bagaimana
bunyi dihasilkan?
Bunyi dihasilkan dari dorongan udara
keluar dari paru-paru melalui mulut atau hidung (Goodluck, 2010: 6). Kualitas
suara yang keluar tergantung kepada bilik resonansi (mulut, rongga
kerongkongan, dan hidung) dan arus udara terhalagi atau tidak. Hal dasar yang
paling dibedakan dalam fonologi adalah vokal dan konsonan. Perbedaan antara
vokal dan konsonan adalah arus udara setelah melewati pita suara, bunyi vokal
tidak mendapat hambatan sedangkan konsonan mendapat hambatan atau gangguan.
b. Bagaimana
bunyi awal pada anak-anak?
Pada awalnya bayi memproduksi
bunyi yang tidak ada hubungannya dengan kata-kata untuk orang dewasa (Goodluck,
2010: 18). Bunyi yang tak bermakna tersebut berkembang ke pengulangan ocehan.
Disini bayi mengucapkan sperangkat silabel konsonan vokal (CV) dimana setiap
ocehan silabel ini tidak jauh dengan silabel-silabel yang lain (pada usia
skitar enam bulan). Pada usia sepuluh bulan, silabel berurutan muncul yang
memberi banyak variasi (konsonan dan vokal yang berbeda) dan tipe silabel yang
lebih luas yaitu “konsonan vokal-vokal konsonan vokal” (VC dan CVC) (Stark via Goodluck,
2010: 19). Tingkatan selanjutnya adalah produksi kata-kata yang dapat dikenali
(Vihman via Goodluck 2010: 19).
Apa yang bisa dioceh dan diucapkan
anak pada usia tersebut diatas dari aspek fonologis? Menurut Locke (via Goodluck,
2010: 19), pada umumnya konsonan frikatif ([f], [v], ‘thin’ dan then, [ɵ], [ð],
etc) dan liquid ([l] dan [r]) belum dibunyikan oleh anak-anak. Dalam ocehan
lebih sering menggunakan nasal (melalui hidung) dan konsonan [h]. Dari segi
hambatan bunyi, voiced stop ([s] dan
[t]) lebih sering diucapkan dibanding voiceless
stop (d]). Perubahan yang biasa
terjadi pada waktu proses ocehan akan ditinggalkan adalah berkurangnya
penggunaan back (velar) stops. Kata
pertama cenderung menggunakan front voiceless stops, nasals, dan vokal [a] (Goodulck,
2010: 19).
5. Pemerolehan
Sintaksis
Pada saat baru lahir,
kita tidak dapat memahami speech
(perkataan) dan tidak bisa pula memproduksi bahasa (Steinberg dan Sciarini,
2006: 3). Dalam memperoleh sintaksis atau kata, anak pasti melalui tahap
produksi silabel seperti meme, pipi, dudu dan sebagainya. kemudian ketika anak
memasuki umur sekitar satu tahun, anak
akan mampu mengahasilkan kata (Steinberg dan Sciarini, 2006: 4). Karena
yang dihasilkan oleh anak adalah dalam bentuk holofrasa maka kata tersebut
harus bisa dipahami. Untuk bisa memahami kata yang diproduksi anak-anak, kita
harus memperhatikan beberapa faktor, diantaranya faktor lingkungan tempat anak
itu berbicara (Clark, 2009: 22).
Tomasello dan Brooks (via
Clark, 2009: 169) mengatakan bahwa kemunculan tipe-tipe konstruksi padal
sintaksis awal, itu ditandai pada umur satu tahun, anak sudah bisa menghasilkan
tuturan satu kata (single-word utterances),
seperti kata benda dan kata sifat. Pada umur satuh enam bulan anak sudah bisa
mengkombinasikan kata, seperti mengkombinasikan kata benda dan kata kerja, kata
benda dan kata sifat (mama makan, papa pergi, mama lapar, dan seterusnya). Pada
umur sekitar dua tahun, anak sudah bisa menghasilkan konstruksi yang disebut verb-island constructions. Terakhir pada
umur tiga tahun, anak sudah bisa menghasilkan konstruksi seperti orang dewasa
atau more adultlike constructions, jadi
pada tahap ini anak sudah bisa berbicara lancar seperti anak dewasa pada
umumnya.
Para pembicara tidak
menggunakan satu kata, tetapi mereka menggabungkan kata-kata untuk menjadi
kalimat yang bisa dipahami (Clark, 2009:13). Tahap pemerolehan sintaksis ini
ditandai oleh penguasaan anak terhadap holofrasis, namun holofrasis yang
dihasilkan oleh anak sukar dipahami, karena harus merujuk pada situasi dan
konteks dimana holofrasis itu diucapkan. Pemerolehan bahasa pertama, tidak
boleh dipisahkan dengan sintaksis. Sintakis sangat menentukan anak dalam
mengoptimalkan sebuah kalimat yang memiliki makna yang bisa dipahami bukan saja
dalam situasi dan konteks namum lebih dari itu.
Davies dan Elder (2004: 39) mengatakan
bahwa dasar sintaks adalah dasar sintaksis merupakan fakta bahwa kosakata
sebuah bahasa muncul dari berbagai macam kelas kata yang berbeda. Terdapat
banyak kelas kata dalam kosakata bahasa Indonesia seperti, kata benda, kata
kerja, kata sifat, preposisi dan sebagainya. penyusunan kalimat dalam bahasa
Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan susunan kalimat dalam bahasa inggris. Contoh sederhana kalimat bahasa
inggris “I go to the market” sama
polanya dalam bahasa Indonesia dengan “saya pergi ke pasar”. “I” artinya saya kategorinya sebagai
subjek dan subjeknya adalah noun, “go” artinya
pergi part of speech-nya sebagai verb atau kata kerja (verba), “to” artinya ke merupakan preposisi dan “the market” adalah noun phrase atau frasa nomina yang berfungsi sebagai sebagai
keterangan tempat.
Diagram sintaksis
kalimat (Chomsky, 1972: 29).
Keterangan:
NP : Noun Phrase
VP :
Verb Phrase
DET : Determiner
V :
Verb
N :
Noun
S :
Sentence
6.
Pemerolehan Semantik
Menurut
Ullmann (1977: 1), ruang lingkup semantik itu pada umumnya mengkaji arti dalam
bahasa. Arti bahasa dapat berbentuk pengetahuan yang terstruktur dalam bahasa
itu sendiri. Arti yang tersimpan dalam
bahasa adalah sebagai sistem tanda lingual (tanda bahasa). Yang termasuk arti bahasa
adalah bentuk yang terstruktur dalam bangunan morfologis dan sintaksis suatu
bahasa. Setiap bangunan atau konstruksi morfologis dan sintaksis tertentu
selalu mestrukturkan arti tertentu yang disebut arti gramatikal atau arti
struktural.
Anak-anak tidak hanya menggunakan satu kata dalam objek
yang dituju, tetapi mereka juga menggunakan satu kata tersebut untuk
mengekspresikan apa yang meraka maksud pada objek tersebut. Sebagai contoh,
seorang anak yang hilang di pasar kemudian menangis dan memanggil “mama”,
artinya kata mama itu bisa berarti “mama dimana” atau ketika anak melihat
sepatu dan mengatakan “mama”, bisa saja itu berarti “sepatunya mama” (Steinberg
dan Sciarini, 2006: 7). Contoh ini mengandung arti atau makna semantik dalam
kata si anak tersebut. Arti semantik tersebut dapat kita analisa berdasarkan
fitur atau faktor lingkungan tempat anak tersebut berbicara.
Fitur yang sangat
menonjol tentang banyaknya ucapan yang dihasilkan oleh anak-anak adalah sebagai
tujuan atau kompleksitas hubungan semantik yang anak-anak tunjukan. Anak
menggunakan bahasa untuk meminta, memperingatkan, menamakan, menolak, membual,
bertanya, menjawab dan menginformasikan.
Untuk mendapat tujuan tersebut, ucapan anak-anak melibatkan hubungan semantik.
Hubungan semantik tersebut bisa berupa agen yang bertindak, yang mengalami, dan
yang menerima (Steinberg dan Sciarini, 2006: 8).
Fitur yang kedua dari
ucapan anak-anak adalah timbulnya fungsi kata seperti, artikel, proposisi dan
kata penghubung. Walaupun itu adalah kata benda, kata kerja, dan kata sifat
yang pada umumnya Nampak dalam ucapan anak (Steinberg dan Sciarini, 2006: 8).
Hal itu tidak terlalu mengejutkan, jika kita menganggap bahwa ini adalah kelas
kata yang memberikan informasi dan anak-anak akan belajar untuk memahami
kata-kata tersebut.
Fitur yang terakhir dari
ucapan anak yang mungkin bisa dicatat adalah kedekatan korespondensi dari
kata-kata anak itu, dan dapat di tempatkan dalam bentuk kalimat yang dapat
dipahami. Anak yang belajar bahasa inggris cenderung mengatakan ‘my cup’ daripada ‘cup my’, ‘not tired’ daripada ‘tired
not’ dan ‘daddy come’ daripada ‘come daddy’ ketika ingin menjelaskan
bahwa ayahnya telah pulang (Steinberg dan Sciarini, 2006: 10). Ini tidak bisa
dikatakan bahwa anak tidak bisa menghasilkan kata yang signifikan, atau apakah
ini cukup untuk mengklaim bahwa anak menyadari perbedaan kata dalam hubungan
semantik. Kata-kata itu menunjukan bahwa anak-anak mampu memahami dan
memproduksi kata dengan tepat (Stienberg dan Sciarini, 2006: 10).
7. Pemerolehan
Pragmatik
Pragmatik adalah ilmu yang mempelajari
hubungan antara bahasa dan konteks yang
berdasarkan pada pemahaman bahasa (Levinson via Clark, 2009: 13). Pragmatik
juga mengkaji masalah arti atau makna,
tidak jauh berbeda dengan semantik. Semantik pun objek kajianya adalah arti dan
makna. Maka dari itu, baik semantik maupun pragmatik sama-sama membahas masalah
arti atau makna namun dari sudut pandang yang berbeda. Semantik mengkaji arti lingual yang tidak terikat konteks,
sedangkan pragmatik mengkaji arti yang disebut “the speaker’s meaning” atau arti menurut tafsiran penutur.
Dalam
menentukan makna, Pragmatik sangat bergantung pada konteks saat pembicaraan.
Seperti yang dikatakan Clark (2009: 13):
“Language and especially its vocabulary (the lexicon), is not static.
Speakers coin new words as society changes and adds new inventions and new
technologies. But its new word is accepted only if its meaning contrast with the meaning of existing words.
Conventionality and contrast are
powerful pragmatic principles governing language use”.
Kesukaran
arti dalam makna pragmatik sangat bergantung pada konteks tempat percakapan itu
dilakukan. Lain halnya jika arti yang ingin kita sampaikan, namun lawan tutur
tidak mengerti, itu karena konteks.
Untuk berkomukasi secara luas,
anak-anak harus mampu membuat makna pembicaraan mereka sendiri dengan jelas dan
mampu menafsirkan maksud atau makna pembicaraan dari orang lain (Clark, 2009:
132). Anak-anak harus mampu mengembangkan kedua keahlian dalam kegiatan
komunikasi sehari-hari, antara linguistik dan nonlinguistik. Sekitar umur
sepuluh sampai dua belas bulan, anak-anak sudah mulai memaknai kata-kata mereka
dari bentuk kata permintaan dan tuntutan. Mereka mengandalkan nonlinguistik skill atau bahasa tubuh dalam meminta,
dan menginginkan sesuatu seperti boneka, buku, kue dll (Bates via Clark, 2009:
132).
a.
Dua
prinsip umum dalam kajian pragmatik
Menurut Clark (2009: 133), pemakai
bahasa mengamati dua prinsip dalam pragmatik, yang pertama, mereka mengamati
sistim bahasa yang mereka gunakan secara biasa dan umum atau conventionality. Arti yang secara dengan
umum ini biasa digunakan dalam bentuk penyampaian pertanyaan atau jawaban,
dalam artian ekspresi yang lazim digunakan. Conventionality
is for certain meanings, speakers assume that there is a conventional form that
should be used in the language community (Clark, 2009: 133).
Kedua, pemakai bahasa mengamati sistem
bahasa yang mereka gunakan dengan cara membandingkan (contrast). Menurut Clark (2009: 133), contrast is speakers assume that any difference in form signals a
difference in meaning. Jadi antara conventionality
dan contrast terdapat perbedaan dalam
memaknai makna yang diucapkan penutur.
C. KESIMPULAN
Proses pemerolehan bahasa
pertama adalah proses dimana bayi memperoleh baik produksi bunyi tuturan maupun
pemahaman terhadap bunyi tuturan yang dalam hal ini didukung oleh
terintergrasinya antara dimensi sosial dan kognitif. Anak-anak bahkan masih
janinpun sudah meperoleh bunyi. Orang yang mempunyai kendala dalam meproduksi
bunyi tuturan juga dapat mengembangkan kemampuannya dalam hal pemahaman bahasa
selama pendengaran dan kecerdasan dasarnya utuh. Proses produksi ujaran mulai
dari bunyi awal sampai kepada pengucapan dua kata atau lebih, melalui proses
yang panjang. Peran orang tua sebagai orang terdekat anak-anak sangat
berpengaruh terhadap proses pemerolehan produksi bahasa anak-anak. Selain orang
tua, orang dewasa lainnya juga mengambil peran penting dalam pembentukan bahasa
anak yang baik dan benar.
Semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk kajian selanjutnya mengenai pemerolehan bahasa pertama, untuk
orang tua sebagai model pembelajaran bahasa bagi anak-anak, dan bagi anak-anak
untuk dapat memperoleh bahasa dengan baik dan benar. Hal yang paling penting
adalah bagaimana orang tua untuk selalu memilih bahasa yang mudah dipahami
anak-anak dan selalu mengerti akan kebutuhan bahasa anak-anak.
Daftar
Pustaka
Chomsky, Noam. 1972. Language and Mind. Cambridge. The
M.J.T. Press.
Clark, V. Eve. 2009. First Language Acquisiton. New York :
Cambridge University Press.
Davies, Alan dan Elder, Chaterine.
2004. Applied Linguistics. Oxford
University Press.
Goodluck, Helen. 1991. Language Acquisition. Bodmin. Hartnolls
Ltd.
Krashen, D. Stephen. 2009.
Principles and Practice in Second Language Acquisition. California. Pergamon
Press Inc.
Levey, Sandra Dan Polirstok, Susan.
2011. Language Development. Los
Angeles. SAGE Publication, Inc.
Saxton, Matthew. 2010. Child Language. Chennai. C & M
Digital (P) Ltd.
Steinberg, D. Danny. dan Sciarini V.
Natalia. 2006. An Introduction to
Psycholingisitcs. United Kingdom. Pearson Education Limited
Stephany, Ursula. dan Voeikona, D.
Maria. 2009. Development of Nominal
Inlection in First Langauge Acquisition. Berlin. Walter de Gruyter GmbH
& Co. KG.
Ullmann, Stephen. 1977. Semantic, an Introduction to the Science of
Meaning. Oxford University Press.